Cerpen Shona Vitrilia
Dimuat di Annida Online
Lagi dan lagi. Ramli memandangi poster workshop itu. Matanya tak terganggu oleh
seekor ulat bulu yang melintas di atas poster. Padahal ia phobia ulat bulu.
Benar-benar membikin phobianya hilang seketika, hanya karena sebegitu
tertariknya ia akan workshop itu.
Begitu
saja. Pulang dan pergi, melewati sebuah dinding yang ditempeli poster. Setiap
pergi, ia akan singgah di sana. Pulang, sama saja. Ini adalah malam kelima
sejak poster itu ditempel. Pikir-pikir apa yang hendak dilihatnya. Malam begitu
kelam. Lampu jalan berjarak lima meter dari dinding itu. Tentulah tak tampak
tulisan barang sedikit pun. Meski punya hape untuk memperjelas tulisan,
tak pula ia gunakan, karena isi poster itu sudah terekam baik di pikirannya.
Sesampainya
di rumah masih saja poster itu terbayang-bayang. Terdapat gambar membayang di
bawah tulisan.
Perempuan yang sedang menutup mata dan di dahinya ada lingkaran yang awalnya kecil, semakin lama semakin membesar. Lingkarannya cukup banyak, hingga lingkaran itu melebihi kepalanya. Lalu di bagian bawah gambar terdapat seperti jam rantai, yang terlihat seolah bergoyang dari kiri ke kanan. Yang paling diingat Ramli adalah tulisan CH dan C.Ht. Ia ingin memperoleh gelar non akademis itu. Tapi….
Perempuan yang sedang menutup mata dan di dahinya ada lingkaran yang awalnya kecil, semakin lama semakin membesar. Lingkarannya cukup banyak, hingga lingkaran itu melebihi kepalanya. Lalu di bagian bawah gambar terdapat seperti jam rantai, yang terlihat seolah bergoyang dari kiri ke kanan. Yang paling diingat Ramli adalah tulisan CH dan C.Ht. Ia ingin memperoleh gelar non akademis itu. Tapi….
Kalaulah
tidak mengingat poster itu akan membawa manfaat buat orang lain, mungkin sudah
ia tanggalkan dari dinding itu dan kemudian memindahkannya ke dinding kamarnya.
Tapi tak apa, toh dengan mengingat baik-baik, menurutnya poster itu bisa
menempel di mana saja. Di atap kamar ketika ia hendak tidur, di kamar
mandi ketika ia hendak membuang hajat, di TV ketika ia hendak menonton TV.
“Ada
apa dengan waang Ram? Akhir-akhir ini nampaknya waang sering
murung,” tanya amak yang meski matanya hampir tak melihat karena katarak, tapi
mata hatinya dapat melihat kegundahan anak-anaknya.
“Ah,
oh tak ada mak.”
“Apanya
yang tak ada. Jangan waang ragukan amak soal
lihat-melihat.”
“Hm…
ada workshop yang ingin sekali Ramli ikuti mak.”
***
Ramli
kembali merenung. Ia memang tipe orang yang jika menginginkan sesuatu, sebisa
mungkin akan ia usahakan untuk memperolehnya. Di kamar 2x3 m miliknya
itu,tiba-tiba matanya tertuju pada sebuah benda berwarna hitam yang ia peroleh
dari lomba menulis dua tahun yang lalu. Sejenak ia ragu. Tapi mengingat
perbincangannya yang terakhir dengan amak, membuatnya mantap hendak menjual
laptop hadiah lomba itu. Amaknya bilang, bahwa ilmu itu lebih berharga dari
barang berharga. Ramli pikir itu benar adanya.
Ketika
muadzin telah selesai dengan adzannya, ketika imam telah selesai memimpin
shalat subuhnya, ketika amak selesai membaca Al-ma’tsuratnya, dan Ramli pun
selesai mengerjakan semuanya. Bolehlah dikata, bahwasanya Ramlilah yang
mengumandangkan adzan, menjadi imam sekaligus yang menuntun amak jika
sekali-kali lupa hafalannya. Setelahnya, ia bersiap-siap, membersihkan laptop
dan memasukkannya ke dalam tas.
“Hendak
ke mana Ram?” Pertanyaan amak mengagetkan Ramli. Baru saja ia membuka
pintu kamar, amak sudah tahu jika ia hendak keluar rumah.
“Ke
sini dulu Ram, ada yang mau amak bicarakan,” amak berkata lagi sebelum Ramli
menjawab.
“Ada
apa mak?” Ramli melihat jam tangannya.
“Duduklah waang dulu,”
sepertinya ada hal serius yang hendak amak sampaikan. Ramli menuruti ajakan
amak.
“Waang kemarin
bilang ingin mengikuti apa itu namanya? O wokcop, worsop?” amak
mengulang-ngulang kata workshop yang membuat Ramli sedikit tergelak.
“Workshop
mak.”
“Ya
itulah pokoknya. Ini kalung dan cincin Amak, waang jual lah ke
pasar. Ambil semua untuk waang. Mudah-mudahan cukup,” mata Ramli
berkaca-kaca. Apa jadinya jika ia menjual kalung dan cincin amak. Di kampung
ini semua wanita seperti toko emas berjalan. Mungkin mereka akan melihat miring
karena amak tak berbarang. Bahkan mungkin sampai juling-juling saking sengitnya
menggosipkan amak.
“Ndak
usah mak, Ramli mau….”
“Sudahlah
ambil saja. Mak tahu, suatu saat Waang akan butuh untuk menambah ilmu.
Jangan waang sia-siakan keinginan amak dan abak. Ilmu itu
tidak satu. Semua orang berhak memiliki banyak ilmu. Termasuk waang Ram,”
lagi-lagi amak memotong perkataan Ramli.
“Abak waang sudah
tiada, buat beliau bangga.”
“Tapi
mak, bukankah lebih baik jika uang ini amak gunakan untuk berobat mata.”
“Insya
Allah Ram, dengan daun katarak saja, jika rutin amak teteskan ke mata
tentu akan sembuh,” padahal Ramli tahu bahwa amak selalu merasa kesakitan yang
amat sangat saat air daun itu masuk ke matanya. “Mak akan tahan bertahan berapa
lama untuk menahan sakit itu?” tanyanya dalam hati.
“Sudahlah
jangan berdebat lagi. Pergilah sekarang.”
***
“Memang Zan sekarang sedang
dalam masa-masa sulit mak. Si Reni sering sakit-sakitan. Gaji habis buat
berobat.”
“Waang terlambat datang. Mungkin si Ramli sudah mendaftar.”
“Mendaftar apa Mak?”
“Dia ingin menambah ilmu. Ikut… ah entah apa namanya amak ndak ingat. Yang
jelas dalam rangka menambah ilmu.”
“Ilmu?”
“Iya, yang amak ingat contoh gampangnya itu kata si Ramli seperti si Romi
Rafael.” Namanya dapat diingat amak dengan baik, karena dulu teman sepermainan
amak sewaktu kecil bernama Romi Rafael juga.
“Apa? Hipnotis itu mak. Haram mak, itu haram hukumnya. Memakai jin. Kenapa amak
izinkan Ramli menuntut ilmu yang dilarang oleh agama? Ndak ingat amak kejadian
beberapa bulan yang lalu di Lampung?”
“Haram? Bercanda waang Zan. Ramli, waang, amak dan
abak didik sedari kecil tak lepas dari Surau. waang juga tahu
bagaimana adik waang tu. Janganlah berburuk sangka.”
“Jelas mak itu haram. Ah sudahlah mak, jelas Zan yang lebih membutuhkan uang,
kenapa mak lebih memilih Ramli yang jelas-jelas akan menuntut ilmu yang tidak
di ridhai Tuhan? Zan pulang.” Fauzan membanting pintu rumah. Tak pernah
sebelumnya ia berperilaku demikian. Mungkin karena beban hidupnya sekarang.
Masalah kecil menjadi besar, masalah besar menjadi semakin besar.
Dan benar kata amak. Ramli sudah selesai mendaftar. Air mukanya cerah. Perlu
diketahui bahwa semua bermula bukan dari sehabis menonton acara Romi Rafael,
melainkan dari artikel yang ia baca di internet. Tentang betapa besarnya
manfaat hypnoterapi.
***
Akhirnya dua gelar non akademis itu ia dapatkan. Setelah mengikuti workshop dan
kemudian mengikuti ujian. Ia pun mendapat pujian dari fasilitatornya. Karena
menurutDavis Husband Scale of Hypnotic Susceptibility, ia berada di
posisi 29 dari 30 angka skala yang ada. Semakin mendekati angka 30, semakin
bagus. Setelah memperoleh sertifikat dari organisasi hypnosis &
hypnotherapy pertama dan terbesar di Indonesia, Ramli kemudian mengikuti
workshop lagi. Ia memutuskan untuk menjual laptopnya. Kali ini ia berharap
memperoleh sertifikasi clinical hypnotherapy.
***
“Saatnya
beraksi,” ucapnya dalam hati sembari tersenyum. Sebuah pamflet baru saja jadi.
Hasil desainnya sendiri dan terlihat jauh lebih menarik dari poster yang
membawanya mengikuti workshop kemarin. Sebenarnya Ramli ingin sekali membuka
klinik terapi, tapi ia tidak memiliki cukup uang untuk itu. Oleh karena
itu, ia memutuskan untuk menyebarkan pamflet agar orang-orang yang
memerlukan jasanya bisa menghubunginya. Ia sebarkan di tempat-tempat umum.
Terlebih di kampus-kampus. Ia menaruh harga khusus untuk mahasiswa. Barangkali
mahasiswa-mahasiswa tahun akhir yang sedang mengerjakan skripsi memerlukan
bantuannya. Memanajemen gangguang stres atau cemas saat akan ujian kompre.
Awalnya
semua ini ia lakukan untuk menambah biaya berobat mata amak. Honor menulis
tidak cukup karena uang tersebut ia gunakan untuk biaya kuliah. Amak juga tidak
berpenghasilan tetap. Hasil berkebun tentu ada musimnya. Belum lagi potongan
untuk menggaji orang, karena sejak mata amak sakit, amak tak pernah turun ke
ladang. Namun siapa menyangka jika hypnoterapi juga bisa membantu menyembuhkan
mata amak? Karena pada dasarnya kondisi mental dapat mempengaruhi kesembuhan
suatu penyakit.
Dan
memang benar, ini sudah hari ke empat belas. Jika dulu amak hanya bisa melihat
Ramli seperti bayangan hitam, kini amak bisa melihat warna baju yang Ramli
kenakan. Meski masih samar. Tentu semua butuh proses. Daun katarak juga
mengambil bagian dalam proses penyembuhan amak.
Di
hari ke empat belas ini pula Ramli memandang saldo tabungannya. Modal mengikuti
workshop sudah balik. Yang paling besar pemasukannya ia peroleh dari mahasiswa
dan dari rumah sakit. Sejak salah satu pasien menggunakan jasanya, maka
bertiuplah angin memberi kabar pada pasien-pasien lain.
Ramli merasa benar-benar bahagia. Amak hampir sembuh, phobianya akan ulat bulu
sembuh, klien juga riuh berdatangan. Meski demikian, Ramli tetap ingin mata
amak diberi sentuhan medis. Rencananya nanti sore Ramli akan membawa amak ke
dokter. Biar mata amak normal kembali.
Tapi kebahagiaannya itu sedikit tersapu setelah mengetahui dari amak bahwa
Fauzan kakaknya pernah datang ke rumah dan mengatakan bahwa profesi yang ia
jalani sekarang adalah profesi haram. Amak terloncat kata saat mereka
berbincang-bincang di teras.
“Uda
tentu tahu siapa Ram, kenapa uda bilang profesi hypnoterapis itu haram. Ram
ndak mungkin memilih jadi hypnoterapis jika profesi ini memang haram adanya,”
ucap Ramli pada amak.
Seminggu
sudah berlalu, sejak amak-Ramli bawa berobat ke dokter. Amak sudah bisa nonton
acara Romi Rafael sekarang. Saat sedang asyik menonton, pintu diketuk dengan
cukup keras. Amak dan Ramli hampir jantungan dibuatnya. Ramli segera menuju
pintu, jika tak segera di buka, barangkali pintu rumah roboh dibuatnya.
Fauzan
dengan geram sudah berada di ambang pintu. Ia tidak sendirian, tapi dengan
banyak orang. Mereka kemudian berteriak-teriak. Tidak jelas apa yang mereka
teriakkan. Yang terdengar jelas hanya suara Fauzan. “Apa yang waang lakukan
Ram? Ha, apa yang sudah waang lakukan?”
Ramli
heran dengan pertanyaan kakaknya sekaligus risih karena air liur kakaknya itu
muncrat ke wajahnya. “Tenang dulu lah Da. Ada apa ini? Baiknya dibicarakan
baik-baik.”
“Apanya
yang baik-baik? Kemarin di Pasar Pakan ada orang yang terkena hipnotis. Tadi di
Belakang Balok beberapa mahasiswi juga ada yang kena hipnotis. Uang dan barang
berharga mereka diambil semua.” Fauzan menjelaskan. Masih dengan berteriak dan
air liur yang muncrat ke wajah Ramli.
“Lalu?”
“Lalu,
lalu. Ya jelas waang pelakunya kan? waang menuntut
ilmu itu kan? Ilmu haram itu?”
“Da,
masuklah dulu. Kita bicarakan semuanya baik-baik.”
“Ah,
di sini saja. Sungguh malu ambo punya adiak seperti….”
Belum selesai ia berkata, tiba-tiba kayu jatuh menimpa kepalanya. Kayu itu
jatuh dari atap, mungkin ujung-ujungnya telah habis dimakan rayap. Ramli sudah
lama hendak ingin membetulkan, tapi kesibukannya sebagai mahasiswa sekaligus
terapis membuatnya lupa.
Untungnya
Fauzan tidak pingsan. Hanya kepalanya saja berdarah. Ketika semua orang
bergerak hendak mengantarnya ke rumah sakit, ia langsung menolak mentah-mentah.
Sebab ia takut sekali dengan jarum suntik. Apalagi jika kepalanya ini robek,
tentulah bakal dijahit. Akhirnya Fauzan di bawa ke dalam. Amak berinisiatif ke
belakang rumah untuk mengambil daun pucuk ubi guna menghentikan pendarahan
Fauzan. Tapi pucuk ubi di belakang rumah sudah habis dijual dan sisanya sudah
dimasak tadi pagi. Amak bergegas mencari di rumah tetangga.
Sementara
di ruang tamu Fauzan meronta-ronta kesakitan. Ramli meminta izin pada kakaknya
itu, agar ia bisa segera mengurangi pendarahan yang dialami uda Fauzan.
Kakaknya tak menjawab. Erangan semakin menjadi. Seperti mau melahirkan saja.
“Da,
jawablah pertanyaan Ram. Uda bersedia Ram hypnos? Biar darahnya berkurang.”
“Terserah waang laaa….”
Fauzan setengah berteriak. Suaranya agak parau. Mungkin karena berteriak-teriak
di depan rumah tadi.
“Bilang
saja, Ya, Uda bersedia.”
“Yaaa…
Uda bersediaaa….” Ramli meminta orang-orang untuk diam. Dan suara gaduh tadi
hilang seketika kemudian berganti erangan kecil dan nafas yang tidak begitu
teratur, namun semakin lama semakin teratur dan semakin teratur. Uda Fauzan
diarahkan pada kondisi rileks. Kontraksi pembuluh darahnya pun menurun,
sehingga pembuluh darah membesar. Akibatnya tekanan darah menurun dan pendarahan
dapat berkurang.
Selesai.
Semua orang ternganga. Fauzan juga merasa tak percaya. Amak datang dari arah
belakang dengan mulut penuh berisi daun pucuk ubi. Amak berencana daun
kunyahannya itu akan dibalurkan ke luka Fauzan. Seketika amak paham apa yang
terjadi. Amak mengeluarkan daun pucuk ubi dari mulutnya dan segera menaruh daun
kunyahan itu ke dahi Fauzan. Amak juga berkata, “Yang menghipnotis kemarin dan
tadi siang sudah tertangkap.”
Bandung, 24 November
2010.
*Waang : Kamu
*Daun Pucuk Ubi : Daun Singkong
Tidak ada komentar:
Posting Komentar