Click this!!!

Postingan Terbaru


Jumat, 23 November 2012

Dilema Garin Surau

Oleh Alizar Tanjung
Terbit di Singgalang, 9 Januari 2011
                “Kesadaran tertinggi itu saat manusia sadar siapa dirinya sendiri, sehingga berfikir akan diri mereka sendiri, memikirkan setiap kejadian pada tubuh. Merenung dan menghayatinya, bahwa sesunguhnya sesuatu yang melekat pada tubuh mereka bukan milik mereka, melainkan milik Allah yang harus dipertanggungjawbkan. Kesia-siaan bagi mereka yang melalaikan tubuh, sebab mereka sudah mensia-siakan ciptaan sempurna yang ada pada diri mereka.”
            Tuan, dalam kesempatan tulisan ini, Tuan, saya hendak bertutur kepada Tuan tentang garin dan masjid atau surau. Tentu saja Tuan kan bertanya demikian. Tuan kan bertanya-tanya perihal apalah yang saya maksudkan tentang garin dan surau. Apa benar yang menjadi persolan dalam benak saya dan saya mau menuturkan panjang lebar. Sungguh tentang garin dan surau ini telah lama terlintas dalam benak saya untuk menjadikan sebuah artikel, opin, esai atau apalah namanya.
                Pertanyaan itu mengganjal dalam benak saya, ketika saya masih tinggal di masjid. Sehari-hari saya habiskan dengan pertanyaan-pertannyaan panjang yang kadang membuat untuk segera pergi dari surau. Apakah sudah sebuah pilihan tinggal di surau, atau tak lebih dari semacam pelarian. Saat saya sudah tinggal di kos kembali permintaan untuk tinggal di surau muncul dari masyarakat. 6 tahun saya habiskan waktu saya tinggal di surau, menjadi imam, muazin, sesekali menjadi penceramah. Pertanyaan itu saya pendam, memendamnyapun tidak memberikan jawaban apa-apa.
Kalau dahulu yang tinggal di surau itu angku dan labai. Mereka yang mengaji di surau bertugas azan, imam, mengajarkan anak-anak mengaji tentang al Qur’an, apakah itu tentang bacaan, ilmi nahwu, fiqih, hadits, tariqat. Memberikan pencerahan kepada jemaah tentang pemahaman agama. Tentunya mereka yang tinggal di surau mereka yang sudah teruji agamanya.
Dalam kisah K.H. Ahmad Dahlan, di Kauman Ngayogyakarta, masjid (surau) sangat di hormati. Mereka yang tinggal di surau atau masjid mereka yang benar-benar teruji agamanya. Luwas wawasannya. Bahkan tidak sembangan orang yang bisa tinggal di surau. Mereka harus ditunjuk kesultanan Ngayogyakarta. Kemudian atas titah itu kiai baru bisa mengajar di masjid atau surau. Menjadi penceramah, khatib, muazin, imam. Mereka yang diberikan amanah diberikan pendapatan dari pemerintah. Sehingga mereka benar-benar menganggap menjalankan fungsi di masjid atau surau sebuah pekerjaan terhormat dan diseganin.
Kalau tidak luas pengetahuannya, tidak luas cari berfikirnya, tidak bagus akhlaknya, tidak dipakai di masjid atau surau. Kemudian mereka yang mengabdikan diri di surau, mereka yang telah berguru kepada beberapa guru. Hingga ketika terjun kepada masyarkat, mereka benar-benar siap lahir dan batin. Benar-benar siap memberikan pencerahan kepada umat. Kalau ada permasalahan dalam tubuh pemerintahan, mereka kembali kepada masjid atau surau. Mengkaji agama sampai ke akar. Bukan mengkaji agama untuk sebuah nilai atau jabatan.
Di Minangkabau, mereka yang tinggal di surau, mereka yang benar-benar berakhlak mulia. Mempunyai Intelektual yang tinggi. Cerdas dalam mengambil tindakan. Sebab mereka bearti orang yang mulia atau yang dimuliakan Allah. Orang jawa menamakan mereka wali Allah. Sesuai dengan al Qur’an bahwa para ulama itu adalah penerus para nabi. Mati ulama maka mati satu pintu ilmu. Ini betapa tingginya kedudukan ulama dan garin surau.
Buya Hamka besar di lingkungan surau. Ilmu beliau dalam. Akal dan hati beliau tajam. Buya Djamil Djambek juga memiliki pandangan yang dalam. Buya Ahmad Khatib al Minangkabawi juga merupakan orang yang memiliki pandangan yang dalam, beliau sempat menjadi imam besar di Masjidil Haram. Bahkan satu-satunya orang melayu yang menjadi imam besar di Masjidil Haram.
Mereka-mereka itu tidak bisa dipisahkan dari masjid dan surau. Mereka sangat menghormati surau. Bahkan mereka mendapatkan pondasi agama mulai dari surau (langgar kata orang-orang Jawa). Sehingga mereka masjid dan surau itu sebagai tempat terhormat. Bukan tempat menginap dan mencari peluang semata. Bukan pula tempat untuk mengisi perut doing.
Perempuan-perempuan besar dari Minang, juga mereka-mereka yang memuliakan masjid dan surau. 
Saat ini kita kenal nama Mas’oed Abidin, ulama Minangkabau yang hanya sebagian orang yang kenal beliau. Padahal pandangan beliau tentang agama begitu tajam. Besar juga tidak terlepas dari surau.
Suatu hal yang menarik, surau menjadi tempat mengaji kehidupan dan kematian. Dalam ilmu agama kita kenal dengan ilmi tareqat, ilmu makrifat. Ilmu ini banyak diajarkan di surau. Bahkan sang guru memiliki surau tersendiri untuk mengajarkannya. Anak muridnya banyak, hingga lahirlah ulama-ulama besar yang memiliki pandangan luas. Anak-anak murid itu di surau melahirkan kitab-kitab yang sampai saat ini masih kita temukan di pustaka-pustaka perkuliahan, pesantren.
Sangat disayangkan pada saat ini ada semacam fakta terbalik. Surau muncul semacam pergeseran nilai, pengalihan fungsi. Apakah yang Tuan jawab ketika ditanyakan kepada Tuan, siapakah yang menghuni masjid dan surau saat ini. Tuan kan menjawab, garin.Dari golongan apa garin itu. Tuan kan menjawab, mereka kebanyakan mahasiswa. Mahasiswa yang kuliah di perguruan tinggi Islam. Mahasiswa yang entah benar-benar ada keinginan untuk memuliahkan agama Allah, atau mahasiswa yang hanya menjadikan surau sebagai tempat pelarian. Masyarakat pun begitu, mereka mulai mengabaikan surau. Mengangkat imam yang tak pantas jadi imam. Mengabaikan fungsi surau sebagai tempat pendidikan, ekonomi, pemerintahan.
Adakah yang salah dengan garin surau. Sekilas sepandang layang memang tidak ada yang janggal. Tapi kalau dilihat lebih dalam akan tampaklah ketimpangan dan fungsi yang lari dari kaidahnya. Masjid dan surau menjadi kejaran mahasiswa. Mahasiswa berlomba-lomba ingin menghuni masjid dan surau. Adakah yang salah dengan hal ini? Saya sendiri menjawab tidak ada yang salah dengan hal ini. Lalu apa yang menjadi persoalannya. Persoalan orang yang menghuni surau.
Surau menjadi tempat tinggal bagi orang-orang yang tidak berilmu. Masjid dan surau menjadi tempat perlarian kaum garin. Mereka ingin menuntut ilmu tapi kerjaan mereka tak lebih dari memanfaatkan peran masjid dan surau tempat ajang cari tempat tinggal gratisan.
Menuntut ilmu itu baik, tinggal di surau itu baik, menuntut ilmu sambil tinggal di surau atau masjid itu bagus. Tapi kalau orang yang tinggal di surau, bacaannya amburadur kemudian mengimami jemaah bagaimana jadinya agama. Apalagi yang tinggal di surau itu dengan niat supaya terlepas dari makan dan tempat tinggal yang bayar. Sungguh itu membuat nilai masjid dan surau menjadi sebuah ajang komersil. Apalagi mereka yang tinggal di masjid dan surau orang yang senang pula berbuat maksiat. Katanya agar lebih dekat lagi dengan Allah. Tapi perbuatannya kalau di luar surau menghancurkan agama. Apakah ini fungsi surau sekarang.
Lebih menarik surau kehilangan fungsi pencetak mubaligh. Surau saat ini tak lebih sebagai tempat tok salat dan ceramah saja. Jadi orang yang kurang kerjaan, pergi sajalah ke surau. Ceramah di sana. Apa jadinya umat ini kalau tempat ibadah sendiri sudah dijadikan hanya semacam rumah singgah, rumah susun, mau dikemanakan umat.
Miris kalau kita lihat lagi kepada masyarakat sekarang. Anak-anak muda kalau sudah mendengar surau dan azan, semacam kesetanan. Mereka semacam tidak serba tahu. Karena bagi mereka surau dan agama hanyalah label. Siapakah yang patut dipersalahkan atas semua ini. Apakah anak yang salah, atau orangtua yang goblok. Bagaimana mungkin anak tahu dengan agama, sementara orangtuanya sendiri orang yang buta dengan agama. Bahkan orang yang tahu dengan agama baru hanya sekedar kenal tapi tidak paham. Apalagi para ustad kacangan, mereka menceramahkan tentang agama, sedangkan diri mereka sendiri tidak mampu mereka ceramahi. Mereka membicarakan tentang lemah lembut kepada sesama, tapi sang penceramah sendiri bersikap masam kepada orang lain. Betapa banyak para penceramah hanya mengejar pamong mereka saja, mengejar amplop, tapi mereka lupa akan pertanggungjawaban di sisi Tuhan mereka.
Masjid dan surau, apakah orang-orang begitu tahu tentang apa makna mereka hidup, atau barangkali diri mereka buta terhadap diri mereka sendiri. Buta bahwa mereka bukan milik mereka, lupa bahwa diri mereka ada dan diri mereka itu akan dipertanggungjawabkan di sisi Allah. Para professor dan kaum intelektual pun juga seperti itu. Mereka bangga dengan jabatan, haji yang mereka miliki. Tapi mereka lupa bahwa mereka punya Tuhan yang harus mereka ikuti. Mereka lupa bahwa semakin tinggi ilmu yang dimiliki semakin besar amanah yang harus mereka jalankan. Harusnya mereka menangis atas jabatan-jabatan dan wawasan yang mereka miliki.
Kelemahan dan kehancuran itu ada pada tangan-tangan orang yang haus akan jabatan dan pamor. Pada diri manusia ada jiwa dan raga yang harus dijaga. Makan fisik, olahraga, makan yang halal, makananan hati siraman dari pencarian diri mereka, siraman dari agama yang mereka miliki.***Padang, 2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © 2011. FLP Sumbar: Dilema Garin Surau . All Rights Reserved
Template modify by Creating Website. Remodified by Aini