Click this!!!

Postingan Terbaru


Jumat, 23 November 2012

“Ketika Rembulan Kembali Bernyanyi”: Santan yang Belum Kental


(Yang Moneter   adalah yang Pemalas. Jodoh yang Sudah Habis)
Esai Alizar Tanjung
 
            Aku mengakui kelihaian Hamka dalam mengaduk pembaca dengan karyanya “Di Bawah Lindungan Ka’bah.” Saya sempat meneteskan airmata saat membaca. Cerpen itu membuat saya bertahan untuk terus menghabiskan sampai halaman akhir. Saat masuk waktu shalat, saya berhenti sebentar. Selesai shalat saya membacanya kembali. Novel “Di Bawah Lindungan Ka’bah” tidak puas saya membacanya sekali saja. Saya membacanya dua kali sampai tuntas. Bahkan sengaja saya fotokopi karena saya tidak menemukan yang aslinya dijual. Saya fotokopi dua rangkap dalam bentuk buku.
                Novel “merantau ke Deli”, juga mengaduk perasaan saya. Saya harus menuntaskan saat membaca di kelas tiga MAN. Saya harus bertahan di pustaka untuk menuntaskannya. Hamka menuangkan dalam bahasa dan penggarapan isi yang menggugah pembaca. Pembaca merasa hadir di dalamnya. Romantisme yang ada dalam novel Hamka, membuat saya menikmati pergulatan yang mengasyikkan dan membuat ketagihan dalam novel Hamka.
                Hingga sampai saat ini saya beberapa kali membahas novel Hamka dalam esai, bukan karena saya ingin berlama-lama dalam novel Hamka, tapi karena saya tidak ingin romantisme novel Hamka hilang dalam hidup saya. Seperti perkataan saya tempo hari dalam facebook, “Saya bukan orang sastra, tapi sastra membuat saya hidup.” Menjalar dalam dunia yang tidak saya temukan di dunia real, menemukan kebahagian yang orang-orang tidak menemukan seperti apa yang saya dapatkan.
                Apa hubungannya dengan “Ketika Rembulan Kembali Bernyani?” Tentunya pembaca bertanya tentang ini? Sebab itu pula saya mengungkapkan Hamka pembuka catatan novel Kartina, sebab saya mempunyai beberapa catatan penting yang tidak bisa dilepas antara novel Hamka “Merantau ke Deli”,  “Di Bawah Lindungan Ka’bah”. Membaca novel Kartini membawa saya kembali menyelam ke dunia romantisme yang saya harapkan datang pada dunia sekarang, tapi itu tidak akan mungkin lagi terjadi. Sebab bukan zamannya lagi. Novel kartini dan Novel Hamka dalam pandangan mata saya sama-sama masuk dalam ruang Roman. Sayangnya romantisme “Ketika Rembulan Kembali Bernyani” belum menyelam sehabis badan.
Suguhan menitip berat pada cinta dan perasaian hidup. Sama-sama menawarkan cinta, kebahagian, kesedihan, penderitaan, kemelaratan. Penuh dengan pergulatan.
Nina lahir sebagai perempuan adat, ia dibesarkan adat, ia menurut kepada mamak. Menerima apa yang dikatakan mamak. Ia menikah dengan Rizal, pemuda kaya pilihan mamaknya. Bermertua kepada Badun dan Kayah. Kayah perempuang haus dengan harta tidak tahu malu. Rizal merantau ke Pekanbaru selama enam bulan. Di kampung Nina dilanda melarat dengan makan seadanya dibantu Uni Rawani dan Mak Uniang. Sedih hatinya ia bagikan dengan cara kebahagian untuk anaknya Ival, Didi, Riani, Sandi.
Lain kesempatan, Nina menghabiskan hari di pantai. Di pantai ia bertemu Riko, seorang pemuda, kuliah di Padang. Ia baru pulang dari Jakarta. Jakarta telah memupuskan cinta Riko dengan Mita.selanjutnya terjalinlah cinta yang saling sembunyi di hati antara Riko dan Nina. Riko berusia 22 tahun, Nina berumur 34 tahun. Ini juga yang saling membuat mereka bungkan terhadap cinta mereka. Kemudian Riko malah menawarkan Nina untuk menikah dengan Om Andre, cerita berlanjut. Riko bergumul dengan Nina. Rizal minta balik ke Nina setelah menceraikannya. Riko tiba-tiba menghilang.
 Saya mencatat dalam catatan saya, novel ini novel yang tergesa-gesa dilahirkan sebagai karya sastra. Kartini belum seluruhnya melahirkan ruh sebuah cerita dalam “Ketika Rembulan Kembali Bernyani?” Kartini sedikit terburu-buru melahirkan novel ini. Saya membicarakan ini bukan tanpa alasan. Dari pertama saya membaca saya sedikit disuguhkan sebuah kebosanan untuk membaca di bagian pertama. Keenakan bermula di bagian dua. Bahasa yang tidak digarap kembali pada bagian pertama, kata “tersebut” yang terlalu dominan. Jedah pemisah waktu yang sering dilongkahi tanpa memberikan ruang. Kekurangan dalam menguasai nama-nama tempat dan pepohonan. Ini menjadi prahara dalam batin saya ketika membacanya. Apa yang saya inginkan menimbulkan keraguan baru, mendatangkan gelagat-gelagat tidak menerima. Sebab memakan mangga muda, masam, pertama ingin memakannya, saat membaca membuat ngilu gigi untuk melanjutkan.
Perhatikanlah bagaimana cerita melompat, dari Nina tanpa tanda jedah sudah berpindah saja ke Rik. Terus juga dari cerita Nina tiba-tiba saja lari ke Rizal, tanpa ada pemisah. Hal-hal seperti ini didapatkan dalam novel ini. “Riko tersenyum ia ingin ke Pariaman melihat pantai Gondoriah. Rasa penasaran seperti ia baca di koran malam tadi keluling Gondoriah. Ya sekedar jalan-jalan mencari cuaca baru di tanah kelahirannya. Ia tidak ingin ketinggalan jika ada orang bercerita padanya tentang pantai piaman tersebut. Di pantai itu ada ketupek, gulai paku, rakik maco, sala lauk serta ladu.
Nina melamun, pikirannya menerawang entah ke mana. Ia tak habis pikir apa maksud Mak Uniang mengatakan hebat sungguh.” (hal.11). Peralihan cerita tanpa tanda pemisah. Kecermatan editor, penerbit juga menjadi sebuah tanda tanya dalam novel ini. Apakah novel ini benar-benar dibaca dengan cermat penerbit? Saya mempertanyakan hal ini dalam novel “Ketika Rembulan Kembali Bernyani?” Sebab novel adalah untuk hidup.
Romantisme yang digerakkan dalam novel ini berada dalam perjalanan yang setengah, setengahnya lagi masuk dalam dunia serba ogahan. Bagaimana semua tokoh masuk dalam dunia “ogahan”. Nina yang begitu santai “digunjingkan”, begitu terbuka membukakan permasalahan pribadinya kepada “Riko”, orang yang dikenal hanya sesaat, pada hari yang pertama, perkenalan pertama, pertemuan pertama, tapi mau membukan hal yang privasi, Riko yang mencintai Nina, Menyerahkan Nina ke Om Andre, kemudian mau merebutnya kembali, ingin membatalkan pernikahan mereka. Rika, Istri Andre yang sudah menikah tapi ingin kembali kepada Andre setelah meninggalkannya, menikah dengan oranglain, menghasilkan keturunan. Rizal yang ingin kembali kepada Nina, tapi telah punya istri dengan orang lain, Mak Uniang yang dikenal sebagai mamak ingin ditampilkan dalam sosok yang bertanggung jawab tapi kehilangan malu dengan adat. Nina orang yang ingin ditampilkan gigih, bertanggungjawab, tapi mampunya mesum dengan Andre pada suatu kesempatan di malam sunyi di rumah Andre, walaupun ditampilkan cepat sadar.
Penggarapan tokoh dalam kacamata saya berada pada gulai yang belum selesai disantan, dikasih bumbu, namun masih pada tahap penjerangan awal di kuali. Garam belum pas. Cabe kurang. Santan masih jalang. Dari sisi novel “Ketika Rembulan Kembali Bernyani?” ingin menawarkan kekentalan adat, di sisi lain ingin menawarkan kehidupan modern, tapi berbenturan pada sebuah penggarapan ide, tokok, nama, tempat. 
Peristiwa kebetulan juga begitu banyak ditemukan, bagaimana secara kebetulan Riko dan Diana bertemu bertabrakan, buku berserakan seperti di film-film, bagaimana Riko bertemu kebetulan dengan Nina, Bagaimana kebetulan tiba-tiba hadirnya saja teman Nina dalam cerita. Bagaiman kebetulan penggarapan cerita tentang kehadiran 4 orang anak Nina. Tidak tergarap dengan baik.
Sebuah hal yang sangat memberikan keinginan bagi pembaca, jika untuk edisi kedua novel ini mengalami revisi ulang dan perombakan total. Sebab cerita yang ditawarkan bagus dari ide, tapi belum mengalami pematangan karya.
Ada beberapa hal yang membuat saya tertegun dan menyentuh. Perkataan Riko. “Yang Moneter adalah yang Pemalas”. Motivasi ini mampu membangkitkan diri saya. Saya percaya juga mampu membangkitkan motivasi pembaca. Nina yang ditinggal Rizal ke Pekanbaru mulai bangkit dari perkataan Riko. Ia mulai membuat kerupuak jariang. Kemudian usaha kain tenun. Usahanya pun melonjak.
Cerita “Dua” juga mampu membuat saya untuk menikmatinya lebih dalam. Persoalan adat tergali dengan rapi. Sayang pada cerita tiga sampai habis, ada semacam keterburuan dalam penggarapan. Padahal kalau digarap lebih serius lagi, novel ini akan menjadi novel yang mampu menjadi sebuah novel yang menginspirasi pembaca. Tetap menjadi pegangan untuk bertahun-tahun bagi pembaca.
Saya sangat suka dengan novel Williya Meta yang belum terbit dengan judul “Bulan Hijau di Turian”. Novel yang saya baca memang digarap dengan serius setelah kembali dimasukkan ide, kembali membaca ulang, mengganti beberapa kekeliruan, tapi tidak ada peristiwa kebetulan yang benar-benar menonjok. Agaknya novel ini harus diterbitkan untuk edisi cetak 2 dengan penggarapan yang lebih brilian. Kepada para sastrawan saya meminta untuk kembali membaca novel “Ketika Rembulan Kembali Bernyani?” Sehingga apa yang saya bincangkan dalam novel ini tidak menjadi hanya kritikan saya sendiri, tapi menjadi kajian sastrawan dan pembaca yang budiman. Akan sangat menarik kalau memang ada bedah novel “Ketika Rembulan Kembali Bernyani?” Saya ingin menjadi pembicaranya, agar apa yang saya aturkan dalam tulisan ini benar-benar menjadi sebuah kritikan pedas terhadap novel Kartini.***Padang, 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © 2011. FLP Sumbar: “Ketika Rembulan Kembali Bernyanyi”: Santan yang Belum Kental . All Rights Reserved
Template modify by Creating Website. Remodified by Aini