Cerpen Alizar Tanjung
Terbit
di Annida Online tanggal 15 November 2010
Tiba-tiba
saja Suci menghampiriku sambil menggerakkan ujung tongkatnya. Ia berjalan
terbatah-batah melewati ruang tamu, turun satu tangga masuk ruang makan, terus
berjalan mengayunkan tongkatnya mendekati bunyi piring yang berdentang di rak
besi.
Suci! Entah kenapa!
Padahal ia biasanya kalau meminta sesuatu hanya dengan suara, “Ma aku pengen
minum!”, “Ma aku pengen makan!”. “Ma pengen beli sate ajo di depan rumah kita
di luar pagar.” Ya, seperti itu Suci kalau ia butuh sesuatu. Tak perlu
tergesa-gesa aku belikan yang ia suka. Tak perlu menunggu, maka kukatakan,
“Sayaaang sabar ya Sayang. Mama belikan sebentar kesukaan Sayang.”, “Sayang Mama
diam saja di kursi tamu ya Sayang.”. “Sayang Mama, Mama belikan dulu rujak
kesukaan Sayang Mama, ya.”, “Suci manisku mau diambilkan makan sama sayur Lalidi,
atau sayur Bayam, Sayang.” Ya, begitulah Suci. Tak pernah ia senekat sekarang.
Suci pinta mama penuhi. Suci tak pernah menangis.
Suci jadi
anak yang rambutnya selalu dikepang dua, semakin manis ia dengan pita merah. Pernah
juga ia minta belikan topi berwarna putih, dengan lukisan bunga Melati. Aku
jadi bingung mau mencarikan ke mana topi sewarna yang ada dalam pikiran Suci.
Aku tak menemukan warna putih. Aku kira Suci kan menangis, “Sayang Mama tidak ada topi
yang seperti Suci harapkan, Nak! Yang berwarna pink saja ya Sayang Mama.” Suci setuju
saja. “Ga pa pa, Ma.” Suci juga tersenyum. Ia terima topi berwarna pink
bergambar bunga kertas merah. Aku sedih tidak bisa memenuhi keinginan Suci.
Tapi Suci tetap saja bahagia walau tak dapat topi putih berlukisan Melati.
Tapi kini aku
sungguh tak menyangka, Suci berjalan dengan tongkat besi, meraba karpet
permadani, satu jenjang turun. Bunyi piring dalam rak masih terdengar. Suci raba
bunyi suara dengan telinga ditutup kepang rambut dua. Tanpa suara, Suci turun.
Aku sungguh cemas melihat ia turun, hampir saja terjatuh. Ingin kukatakan, ‘Jangan
turun sayang,’ tapi tak sempat aku mengatakan ia telah berada di depanku. Ia
arahkan tongkatnya ke kaki meja samping kanan dan samping kiri.
“Suci mau apa
Sayang?” ia diam dan menatap lurus ke arah yang tak ia lihat. Aku berdiri
merangkul tangan Suci. Suci menurut tanpa banyak berkata. Kini ia berada dalam
pelukanku di meja plastik merah di ruang dapur. Aku selah rambut Suci. Begitu
manis anakku. Tapi apakah Suci berkata betapa ia manis, selama ini hanya ia
pernah dengar bahwa dirinya sangat imut dan menggemaskan. “Ia Suci yang baik
hati,” kata sebahagian yang lain. Ia Suci yang suka senyum. Tapi Suci tak yakin
seperti apakah senyum yang ia tahu. Kalau orang-orang memujinya ia hanya
menggerakkan bibir ke arah kecerian. Seperti apa wajahnya ia tidak tahu. Aku
kasihan dengan Suci. Tapi bagaimanapun Suci tetaplah Suci yang lahir seperti
itu dari hari pertamanya di atas dunia ini.
“Suci mau apa
Sayang? Mau makan nasi dengan ikan bada tri?!” Suci menggeleng kepala. Aku
punis rambutnya yang hampir menutupi mata.
“Suci mau Mama
bikinkan susu kesukaan Suci?” Suci masih juga menggeleng. Aku jadi bingung
sendiri. Tentang apa yang diinginkan Suci masih menggumam mulutnya. Aku katakan
sekali lagi,
“Suci mau apa
Sayaaang?”
“Ma,”
katanya.
“Ia sayaaang!”
“Suci mau Mama
belikan sate Ajo di depan rumah kita, sate ajo sore-sore seperti ini sudah
mangkal? Pasti ajo sudah nunggu Suci. Sekarang Suci duduk saja di sini! ya
sambil menunggu satenya, Sayang.” aku dudukkan Suci di kursi plastik. Tapi baru
saja aku mau berdiri cepat ia rangkul tanganku.
“Aku tak mau
sate, aku tak mau makan sama ikan bada Tri, aku tak mau minum susu, Ma,”
katanya. Aku kembali duduk. Aku pegang pundaknya sambil membelai pipinya.
“Kalau begitu
Sayang Mama mau Mama ambilkan apa, Sayaaang? Coba suci bilang kepada Mama,”
kataku sambil kembali mengangkatnya. Meletakkan ia pada pinggang. Suci menurut.
“Aku ingin
kemilau cahaya senja, kemilau yang turun di atas gunung Talang, Mama,” katanya.
Aku tak percaya ia minta cahaya. Cahaya kemilau yang turun pada senja di ujung
langit kecamatan danau kembar ini. Aku bingung bagaimana caranya menyediakan
cahaya kemilau senja.
“Mama, kata
nenek kemilau senja itu sangat menarik sekali. Ada warna emas dari barat. Kata nenek pas
saat kemilau senja itu selalu saja ada burung yang terbang melintang. Kata nenek
itu burung anggang, kalau yang sering berbunyi itu burung elang. Ia datang pas
saat cahaya matahari tiada didahului kabut,” kata Suci. Aku semakin bertambah
bingung. Bagaimana mungkin Suci tahu kabut, cahaya matahari, burung elang,
burung anggang. Burung elang dalam gambaran Suci mungkin elang yang putih, hitam,
atau tanpa warna. Lalu tentang langit bagaimana Suci bisa mengenali warna langit.
Aku diam dan terdiam lama. Tapi tetap saja tak memberikan jawaban apa-apa.
“Aku ingin
kemilau senja. Saat itu aku melihat anggang terbang berkelompok, saat itu ada elang
terbang seekor melintas bebukit tepian timur yang melingkari danau Di bawah,
danau yang berbentuk kuali.” Katanya lagi.
“Ia sayang,”
kataku sambil membetulkan posisi selangkang kakinya yang hampir meloroh dari
pinggangku. Aku tak tahu kenapa jadi begini. Mana yang tak bisa menangkap
realita. Aku atau alam ini terlalu berandai dengan keadaan.
“Kata nenek,
pada kemilau senja aku berwarna sangat cantik serupa bidadari surga. Aku punya
muka cahaya dan kemilau putih bercampur merah di keningku. Kata nenek, itu
hanya pada diriku. Mama, aku ingin semua itu. Saat kemilau senja itu wajahku
juga bercahaya,” katanya sambil melingkar jemari telunjuk dari ujung keningnya
sampai ujung dagunya.
“Ia sayang.”
lagi-lagi hanya itu yang mampu aku berikan.
Aku memang
meminta ibu datang ke rumah ini seminggu yang lalu. Suci rindu nenek. Ibu
memang suka buat cerita dongeng. Selama seminggu ibu di sini, Suci bahagia
alang kepalang. Setiap hari selalu senyum Suci yang keluar di kamarnya. Setiap
pagi ibu mengajaknya secara perlahan mebuka pintu. Masuk pekarang depan rumah.
Menyentuh lembut warna melati yang tepat berada di bawah jendela kamar Suci.
Tapi tak
kusangka ibu ceritakan tentang kemilau. Aku jadi tak mengerti bagaimana ibu
memahamkan suci tentang kemilau. Suci
tak pernah meminta makan, minum, sate selama seminggu itu. Sebelum ia minta ibu
telah lebih dahulu memenuhi keinginannya.
Pernah juga
secara tak sadar mendengar pembicaraan ibu dengan Suci di kamar.
“Suci pengen
lihat kemilau senja! Kemilau senja yang indah, Cu?!” kata ibu. Suci langsung menjawab, “Ya, Nek. Besok ya Nek. Besok
kita lihat kemilau senja ya Nek!”
“Ya, Cu.”
“Kemilau
senja jadi cahaya di wajah Suci. Bersinar terang hanya pada wajah cucu nenek
yang imut ini. Besok dari pintu ini kita lihat kemilau kalau tidak hujan ya,
Cu. Kalau hujan kemilau senja tidak menarik, kemilau senja ditutup kabut. Kalau
lagi cewang di langit kemilau senja, kemilau yang membawa sayap malaikat yang
bewarna putih,” kata ibu.
“Suci pengen lihatnya,
Nek.”
Tapi besok
ibu terburu pulang ke kota . Besoknya adalah tadi pagi. Suci minta ibu
tinggal dulu, tapi ibu sudah dirindu cucu ibu yang di kota . Ibu pesankan, “Cu, kemilau senja itu
bisa dilihat bersama mama Suci. Kemilau senja itu semakin indah kalau yang
melihat itu Suci dan mama Suci.” Aku berdiam di pintu sambil memeluk Suci,
melepas ibu yang masuk pintu taksi. Ibu
pergi. Pagi itu Suci merasa sedih ditinggal ibu, tapi ia juga gembira. Ada kemilau, ada cahaya.
Ia kembali kuantarkan ke kamar yang dipenuhi binatang Panda.
Siangnya Suci
tak meminta kemilau untuk waktu senja. Suci seperti biasanya. Tak ada ibu
bearti aku yang harus sediakan susu, nasi bercampur bada Tri kesukaan Suci.
Tapi sore itu
suci turun dari kamar merabakan tongkatnya. Terus menggerakkan ke kanan dan ke
kiri.
“Suci ingin
lihat kemilau senja,” kemilau di langit barat di bentangan gunung Talang.
***
Aku jadi tak percaya bagaimana cara mengungkapkan kemilau
senja itu sudah datang. Kemilau senja itu telah berdiri di ufuk barat. Aku kira
Suci sudah menyadarinya. Ternyata tidak. Aku peluk Suci di pintu memandang
matahari yang merenda turun ke balik gunung Talang.
“Sudah datang kemilau itu Mama?” kata suci sambil
meletakkan jemarinya di pipiku.
“Sudah Sayaaang!”
“Mana Ma?!” Aku
bingung bagaimana cara menunjukkan. Kuarahkan telunjuk Suci pasti ia minta lagi,
“Yang mana, Ma?!” Kuarahkan juga telunjuk Suci, tapi bagaimana caranya
menyatakan kalau yang ia tunjuk itu benar-benar cahaya senja. Aku jadi linglung
ketika Suci katakan, “Aku tak bisa menangkapnya Mamaaa! Aku ingin lihat kemilau
senja, Mamaaa!” Suci mulai merengek, ia meronta di atas pelukanku.
“Kemilau itu
sudah menyinari wajah Suci, Sayaaang! Kemilau itu sedang masuk di rumah kita,
sayaaang!” Kataku menghapus airmatanya yang mula jatuh. Aku tak tahan bagaimana
caranya menggambarkan kemilau itu di mata Suci. Mata Suci terlalu tidak sudi
menerima semua kemilau. Aku katakan kalau kemilau itu tidak usah Suci pandang.
“Asal suci
rabakan saja di hati, itu sudah cukup sayaaang!”
“Tidak, Mamaaa!
Suci harus lihat kemilau. Di dalam kemilau suci harus lihat anggang terbang
bergerombolan, lalu ada elang terbang dari bukit timur di belakang rumah kita
ini, Mama. Suci ingin kemilau, Mamaaa!”
Berhari-hari,
berminggu-minggu, berbulan-bulan, bertahun Suci masih ingin lihat kemilau. Suci
ingin lihat kemilau bersama nenek. Nenek yang tahu tentang kemilau. Tapi nenek
telah pergi meninggalkan Suci limat tahun yang lalu. Suci minta pada aku. Aku
jawabannya selalu kemilau itu telah menempa Suci. Suci sering menangis mengunci
diri di kamar. Tak lagi ia kenang sate ajo, makan dengan ikan Tri kesukaan Suci,
tak lagi ia minta susu. Suci bukan Suci yang dulu lagi. Suci yang sekarang Suci
yang sudah benci susu.
Siapa yang
salah? tiada yang bisa disalahkan. Ibu pergi dan Suci tak pernah pergi. Suci
sering duduk di pintu entah menangkap apa. Tapi setiap senja itu selalu saja
mengalir air mata. Aku katakan, “Anak mama tidak baik berlama-lama di pintu, Sayaaang!
Hari sudah mulai gelap Sayang. Masuklah anak Mama kembali.” Tapi Suci masih
berdiam di pintu.
“Aku pasti bisa melihat kemilau, Mama. Kemilau
senja yang turun di langit barat. ” katanya suatu saat matahari sudah mulai tenggelam separuh.
Ia duduk jongkok di pintu. Aku tak pandai berbuat apa-apa. Kecuali dadaku yang
sering terasa berat. Saat Suci ingin melihat kemilau itulah ada guntur di dadaku.
Berhari-hari,
berminggu-minggu, berbulan-bulan, bertahun entah pada tahun yang mana. Suci
tidak lagi anak kecil sepuluh tahunan. Suci sudah melihat kemilau dengan
matanya telanjang. Aku telah pergi. Suci baru siap operasi dengan mataku yang
aku wasiatkan. Suci bebas melihat kemilau senja dan anggang turun terbang
bergerombolan. Suci bebas melihat elang.
Tapi pada
suatu entah pada hari yang mana Suci meraung sejadi-jadinya. Ia meratap
mehebohkan rumah-rumah tetangga. Ia
berteriak, “ Aku tak ingin melihat kemilau. Aku tak ingin melihat anggang. Aku tak
ingin melihat elang. Aku ingin makan bada Tri kesukaanku, aku ingin sate ajo
yang sering mangkal di halaman.”
Suci pandang
bukit gunung Talang yang tandus, gedung-gedung tinggi di samping kanan kiri
rumahnya, ia pandang air danau yang keruh. Ia pandang perempuan-perempuan
separuh telanjang. Ia pandang lali-laki berpakaian perempuan. Ia pandang
perempuan yang jadi laki-laki.
Berhari-hari,
berminggu-minggu, berbulan-bulan, bertahun-tahun Suci terus berteriak, “Aku tak
ingin melihat kemilau senja.”*** Lingkar Putih, 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar