Cerpen Hafis Ambari ( Mahasiswa Psikologi Islam, IAIN IB Padang )
“Maaf, ini saudaranya
putri, putrinya sudah tidak ada lagi.” Sepetik pesan terakhir yang kuterima
tentangmu. Aku kalut, benarkah kau telah pergi? Mungkin kau lebih tenang di
sana, sedang aku masih bercengkrama dengan dunia fana.
Angin malam berhembus
menyerapi ketenangan batin, di bibir jendela aku tertegun menengadah pada
langit kelam. Kilau bayangmu menyentak lamunku, sedang apa kau di sana? terus
kau menatapku tajam.
Hei! Mengapa kau
menatapku seperti itu. apakah aku salah? Maaf, kalau ku tak sempat melihatmu. sungguh
aku kalut saat kudengar kabar tentangmu. aku tak tau harus bagai mana. aku
ingin kau selalu ada dalam dekapku, namun itu tak mungkin terjadi, kau sekarang
berbeda denganku, hanya hatimu yang merekat dalam hatiku.
“Putri, mengapa wajah
muram, kau tengadahkan untukku? Jangan kau membungkam diri tak bertutur kata,
aku bingung ntah apa pesan di balik wajah murammu. Sampaikan pesanmu itu,
jangan kau rendam dalam bisu. Ini bukan panggung pantomim.”
“Hei! Mengapa kau terus
diam, diam dan diam. Aku tak pinta aktingmu, tapi aku ingin tau apa yang kau
inginkan, hanya itu yang ku mau.”
Oh ya! kusadari mungkin
aku salah. Sejak saat itu ku mencoba membenam perasaan ku. Aku tak bermaksud
mengkhianati, namun aku tak sanggup berlarut tenggelam dalam kalutku. Aku terus
mencoba untuk terus melepas kenangku padamu. Aku ingin hidup tanpa harus
terhantui, hanya kusimpan semua itu dalam hatiku.
Malam kelam, bawalah
banyangnya jauh dari pandangku. aku tak sanggup membuka lagi lembar-lembar
suram. Aku bukan penghianat, aku bukan pecundang, namun itulah aku.
Putri,
tenanglah kau di sana, itu lah takdir. tak dapat dilampaui dan ditunda. Lewat
do’a kuselip kasih sayangku untuk mu.
Salam sayang……
***
“Reno, ada telpon
untukmu,” Seseorang menyapaku.
Bergegas aku berlari menuju kantor pengasuhan,
karena hanya pengasuhan sentral komunikasi. Mungkin telpon dari bapak,
kebetulan uangku habis bisalah minta kiriman, gumamku dalam hati.
“Maza turid akhi,?” salah
satu staf pengasuhan bertanya, saat aku tiba di pengasuhan
Akupun menjawab,
“Qola shohibi li hatif min walidi,”
“Intazir
fil kharij,” Begitu, ustadz menanggapi
jawabanku.
“Na’am
ustaz,” Jawab ku pula.
Berjam-jam kutermangu
menanti deringan telpon dari orang tuaku. hilir mudik orang – orang melihatku
duduk kaku berpangku tangan menerawang sudut harapan.
Dengan
langkah gontai, menapaki jalan dengan rasa kecewa kembali ke kamar. Mungkin
bapak sibuk jadi hanya ada waktu sebentar, tak apalah, aku berusaha menghibur
hati.
“Reno!”
Tadi ada telpon untukmu katanya dari bapakmu, katanya kakekmu meninggal” Innalillahi
wa innailaihi roji’uun, tersentak ku langsung mengucapkannya. Trimakasih
balasku.
Dengan
genggaman kabar yang membuatku penasaran, ku berlari ke wartel pesantren.
Tit,tit,tit, ku menekan nomor bapak. “Assalamualaikum pak, tadi bapak nelpon ke
pengasuhan ye,”
.
“Iye, lah bepuloh –puloh kali bapak nelpon tak diangkat –angkat.”
“Siape
yang meninggal Pak?”
“Uwak Kau, subuh tadi meninggal. Jawab
bapakku.
“Awak
balek ye Pak,”
“Baleklah
tapi izin same ustadz kau lu,”
“Ye lah pak.”
Seiring mobil l 300 arah Pekan Baru ke
Air Molek melaju kencang, langit redup, siang mulai kelam, petir menghentak
ketenangan, langitpun menumpahkan air tiada henti. Aku hanya diam saat itu,
memandang alam yang ribut bertanding kekuatan. Angin menyibakkan derasnya hujan
masuk dengan tetesnya kedalam jendela mobil yang ku tumpangi, aku pun terlelap
menikmati semua itu.
***
“Dek, turun di mana?” Supir bertanya, menyentakku
tercerai dari mimpi.
“Awak turun di Air Molek Bang, bisa tak
masuk dalam dikit Bang?” Tanyaku, “Hari hujan tak mungkin lah awak jalan masuk
dalam”.
“Bisa,di mana ?” Tanya supir itu.
“Di Lembah Dusun Gading Bang,” Terangku.
“Yelah.”
Balas supir itu.
“Di sini bang rumahnya,” Kataku sambil
menyetop mobil. mobil berbelok kekiri menghantarkanku tepat di depan rumah.
Saat ku buka pintu mobil, rasa nya tak terinjak kakiku di atas rerumputan yang
menyelimuti tanah, sedih mengait hatiku, sehingga ku tak mampu.
“Nak,
uwak lah meninggal, terakhirlah lah
kau nengok uwak kau pas ngantar daus
kemaren. Bapak kau aje tak sempat
nengok, bapak kau baru pulang dari malesya, Ujar ibuku.”
Aku hanya terangguk–angguk,mengiyakan,
hanya itu sepetik tingkah yang ku tampakkan.
“Maote,
mauo, nga, long, lah tu kasian uwak
di tangisan toros, bio almarhum tenang di alamnnye kini,
semue tu lah ade suratannye dari Allah. Lah ye,
lebih bagus awak kirim je do’a untuknye supaye amalnye di terime di sisi
allah.” Tuturku.
***
Matahari telah memejamkan matanya, bulan
tak muncul di permukaan, langit kelam, suram, tak berbintang. Para tamu undangan
berdatangan memadati rumah hingga ke sudut-sudut untuk menghadiahkan tahmid,
tahlil, dan do’a untuk almarhum.
Sehabis mentahmid, mentahlil, dan
mendo’a, kupandang malam kelam, angin malam membius dinginkan tubuh hingga
tulang. Aku tertanya-tanya saat itu.
Tuhan….
Apa arti dari semua ini
Minggu yang lepas
Bayang putri datang
Membukam tak bertutur
Kini.…
Engkau ambil pula
dirinya dari kami
Aku bingung
Apa yang harus aku
lakukan
Aku bukan paranormal
Aku tak mampu
Menafsirkan pesan dalam
kelam ini
Tuhan….
“Reno! ngape di luro dingin
masuk lah,” seorang wanita paruh baya datang mengingatkanku.
“Ie lah,” jawabku. Sebelum kubangun dari
persemedian, kutanyakan suatu hal pada nya. maote,
awak bingung minggu yang lepas awak di datangi dek bayangan kawan awak yang lah
meninggal, kini uwak meninggal pulak.
“Ye,
mungkin kau tak mendo’akannye, do’akan lah bio
tenang die. Banyak-banyak lah ibadah,
berdo’a pade Allah, lah ye, maote
masuk lu.”
Mungkin itu pesan yang tersirat dalam
kelam, ku pasrahkan kepadanya.***
Padang,
November 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar