Click this!!!

Postingan Terbaru


Jumat, 23 November 2012

Pesan dalam Kelam

Cerpen  Hafis Ambari ( Mahasiswa Psikologi Islam, IAIN IB Padang )

“Maaf, ini saudaranya putri, putrinya sudah tidak ada lagi.” Sepetik pesan terakhir yang kuterima tentangmu. Aku kalut, benarkah kau telah pergi? Mungkin kau lebih tenang di sana, sedang aku masih bercengkrama dengan dunia fana.
Angin malam berhembus menyerapi ketenangan batin, di bibir jendela aku tertegun menengadah pada langit kelam. Kilau bayangmu menyentak lamunku, sedang apa kau di sana? terus kau menatapku tajam.
Hei! Mengapa kau menatapku seperti itu. apakah aku salah? Maaf, kalau ku tak sempat melihatmu. sungguh aku kalut saat kudengar kabar tentangmu. aku tak tau harus bagai mana. aku ingin kau selalu ada dalam dekapku, namun itu tak mungkin terjadi, kau sekarang berbeda denganku, hanya hatimu yang merekat dalam hatiku.
“Putri, mengapa wajah muram, kau tengadahkan untukku? Jangan kau membungkam diri tak bertutur kata, aku bingung ntah apa pesan di balik wajah murammu. Sampaikan pesanmu itu, jangan kau rendam dalam bisu. Ini bukan panggung pantomim.”
“Hei! Mengapa kau terus diam, diam dan diam. Aku tak pinta aktingmu, tapi aku ingin tau apa yang kau inginkan, hanya itu yang ku mau.”
Oh ya! kusadari mungkin aku salah. Sejak saat itu ku mencoba membenam perasaan ku. Aku tak bermaksud mengkhianati, namun aku tak sanggup berlarut tenggelam dalam kalutku. Aku terus mencoba untuk terus melepas kenangku padamu. Aku ingin hidup tanpa harus terhantui, hanya kusimpan semua itu dalam hatiku.
Malam kelam, bawalah banyangnya jauh dari pandangku. aku tak sanggup membuka lagi lembar-lembar suram. Aku bukan penghianat, aku bukan pecundang, namun itulah aku.
Putri, tenanglah kau di sana, itu lah takdir. tak dapat dilampaui dan ditunda. Lewat do’a kuselip kasih sayangku untuk mu.
Salam sayang……    
***
“Reno, ada telpon untukmu,” Seseorang menyapaku.
 Bergegas aku berlari menuju kantor pengasuhan, karena hanya pengasuhan sentral komunikasi. Mungkin telpon dari bapak, kebetulan uangku habis bisalah minta kiriman, gumamku dalam hati.
 “Maza turid akhi,?” salah satu staf pengasuhan bertanya, saat aku tiba di pengasuhan
 Akupun menjawab, “Qola shohibi li hatif min walidi,”
“Intazir fil kharij,” Begitu, ustadz menanggapi jawabanku.
“Na’am ustaz,” Jawab ku pula.
Berjam-jam kutermangu menanti deringan telpon dari orang tuaku. hilir mudik orang – orang melihatku duduk kaku berpangku tangan menerawang sudut harapan.
Dengan langkah gontai, menapaki jalan dengan rasa kecewa kembali ke kamar. Mungkin bapak sibuk jadi hanya ada waktu sebentar, tak apalah, aku berusaha menghibur hati.
“Reno!” Tadi ada telpon untukmu katanya dari bapakmu, katanya kakekmu meninggal” Innalillahi wa innailaihi roji’uun, tersentak ku langsung mengucapkannya. Trimakasih balasku.
Dengan genggaman kabar yang membuatku penasaran, ku berlari ke wartel pesantren. Tit,tit,tit, ku menekan nomor bapak. “Assalamualaikum pak, tadi bapak nelpon ke pengasuhan ye,”
. “Iye, lah bepuloh –puloh kali bapak nelpon tak diangkat –angkat.”
Siape yang meninggal Pak?”
Uwak Kau, subuh tadi meninggal. Jawab bapakku.
“Awak balek ye Pak,”
 “Baleklah tapi izin same ustadz kau lu,”
Ye lah pak.”

Seiring mobil l 300 arah Pekan Baru ke Air Molek melaju kencang, langit redup, siang mulai kelam, petir menghentak ketenangan, langitpun menumpahkan air tiada henti. Aku hanya diam saat itu, memandang alam yang ribut bertanding kekuatan. Angin menyibakkan derasnya hujan masuk dengan tetesnya kedalam jendela mobil yang ku tumpangi, aku pun terlelap menikmati semua itu.
***
“Dek, turun di mana?” Supir bertanya, menyentakku tercerai dari mimpi.
“Awak turun di Air Molek Bang, bisa tak masuk dalam dikit Bang?” Tanyaku, “Hari hujan tak mungkin lah awak jalan masuk dalam”.
“Bisa,di mana ?” Tanya supir itu.
“Di Lembah Dusun Gading Bang,” Terangku.
Yelah.” Balas supir itu.
“Di sini bang rumahnya,” Kataku sambil menyetop mobil. mobil berbelok kekiri menghantarkanku tepat di depan rumah. Saat ku buka pintu mobil, rasa nya tak terinjak kakiku di atas rerumputan yang menyelimuti tanah, sedih mengait hatiku, sehingga ku tak mampu.

 “Nak, uwak lah meninggal, terakhirlah lah kau nengok uwak kau pas ngantar daus kemaren. Bapak kau aje tak sempat nengok, bapak kau baru pulang dari malesya, Ujar ibuku.”
Aku hanya terangguk–angguk,mengiyakan, hanya itu sepetik tingkah yang ku tampakkan.
Maote, mauo, nga, long, lah tu kasian uwak di tangisan toros, bio almarhum tenang di alamnnye kini, semue tu lah ade suratannye dari Allah. Lah ye, lebih bagus awak kirim je do’a untuknye supaye amalnye di terime di sisi allah.” Tuturku.
***
Matahari telah memejamkan matanya, bulan tak muncul di permukaan, langit kelam, suram, tak berbintang. Para tamu undangan berdatangan memadati rumah hingga ke sudut-sudut untuk menghadiahkan tahmid, tahlil, dan do’a untuk almarhum.
Sehabis mentahmid, mentahlil, dan mendo’a, kupandang malam kelam, angin malam membius dinginkan tubuh hingga tulang. Aku tertanya-tanya saat itu.
Tuhan….
Apa arti dari semua ini
Minggu yang lepas
Bayang putri datang
Membukam tak bertutur
Kini.…
Engkau ambil pula dirinya dari kami
Aku bingung
Apa yang harus aku lakukan
Aku bukan paranormal
Aku tak mampu
Menafsirkan pesan dalam kelam ini
Tuhan….
“Reno! ngape di luro dingin masuk lah,” seorang wanita paruh baya datang mengingatkanku.
“Ie lah,” jawabku. Sebelum kubangun dari persemedian, kutanyakan suatu hal pada nya. maote, awak bingung minggu yang lepas awak di datangi dek bayangan kawan awak yang lah meninggal, kini uwak meninggal pulak.


Ye, mungkin kau tak mendo’akannye, do’akan lah bio tenang die. Banyak-banyak lah ibadah, berdo’a pade Allah, lah ye, maote masuk lu.”
Mungkin itu pesan yang tersirat dalam kelam, ku pasrahkan kepadanya.***

Padang, November 2010   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © 2011. FLP Sumbar: Pesan dalam Kelam . All Rights Reserved
Template modify by Creating Website. Remodified by Aini