Cerpen Alizar Tanjung
Terbit di Sabili, edisi Desember 2010
Mak Yunus bersila seorang diri. Selesai salat subuh di surau. Ia kembali
mengulang bacaan kajinya. Membaca surat al Baqarah. Terdengar suaranya yang serak
berat. Suara yang sudah berpuluh tahun mengisi relung surau di pinggiran sungai
kecil. Surau Tabek namanya. Letaknya di pinggiran sungai Tabek Pampangan.
Suara itu patah-patah sesuai patah-patah usia yang Mak Yunus miliki. Usia
63 tahun.
Mak Yunus sebenarnya sudah 50 tahun menghunyi surau. Semenjak orang tuanya
meninggal. Orang tuanya meninggal karena penyakit tua.
Mak Yunus dilahirkan pada usia ibu bapaknya kepala lima. Kemudian Mak
Yunus menjadi garin surau. Garin surau sebagai penyapu lantai. Pembersih halaman
awalnya. Untuk menjadi imam, Mak Yunus belum balikh berakal.
Ketika memasuki usia 15 tahun, orang-orang mulai percaya kepadanya. Ia
sudah balikh berakal. Orang-orang kampung Karang Sadah mempercayai ia menjadi
imam. Jemaahnya bapak-bapak dan ibu. Imam sebelumnya, Angku Malin telah mati.
Semenjak itu berakhir pucuk pimpinan imam tua. Untunglah ada Mak Yunus, begitu
bisik hati jemaah Mak Yunus. Jemaah Mak Yunus berisi Subuh, Magrib, Isya. Zuhur
dan Asar tidak ada jama’ah, kalau Mak Yunus Azan, Mak Yunus Bilalnya, Mak Yunus
imamnya, Mak Yunus makmumnya.
Dahulu menurut cerita orang, di kampung Karang Sadah orang terkenal kuat
agama dan adatnya. Orang berpegang kepada adat bersandi syarak, syarak bersandi
kitabullah. Sebelum itu berlaku undang aluah
jo patuak, sebelumnya lagi undang “tarik baleh”, jauh sebelum Islam masuk
abad ke-7.
Cerita itu dipegang Mak Yunus dari orang tuanya yang telah menjadi tanah.
Orang-orang kalau pergi ke surau memakai kain sarung yang dililit ke leher,
diselempangkan ke pinggang. Malam-malam tampak iringan suluh sepanjang jalan
setapak melintasi ladang tebu.
Menurut cerita lama, dahulu surau hanya satu dalam kampung, masjid hanya
ada di tengah koto, menurut peraturan adat, kalau kampung belum bernama koto
maka hanya boleh berdiri satu surau. Itu adalah cerita tambo Minangkabau.
Orang yang pergi ke surau sangat ramai. Golongan muda yang paling ramai,
mereka tidur di surau, belajar di surau bersama angku dan labai, lalok[1]
di surau, malam-malam Kamis membaca yasinan, malam jumat membaca buah sumbahyang[2],
malam lainnya membaca al Qur’an secara bergiliran, subuh-subuh mengaji[3]
tentang apa saja. Tapi itu dulu.
Mengaji di surau, perempuan memakai pakaian kebaya dan tikuluak[4].
Laki-laki memakai peci nasional. Angku atau labai memegang sebuah rotan. Dikajilah
tentang asma Tuhan. Dikajilah sifat Allah nan dua puluh.
Mak Yunus memang sempat menikmati mengaji nama-nama Allah, hingga Mak
Yunus benar-benar yakin Allah itu ada. Mak Yunus kenal hakikat nama-nama Allah.
Kemudian paham hakikat Salat, hakikat puasa, hakikat haji. Mak Yunus juga duduk
ilmu syariat, thariqat, terakhir ilmu makrifat.
Tentunya Mak Yunus banyak belajar kepada orangtuanya yang labai, yang
sering dipanggil untuk mendoa ketika
hari besar Islam, terutama bulan rajab, safar,
sya’ban (orang kampung karang sadah menamainya bulan berdoa), pada Idul
Fitri, Idul Adha.
Semenjak orang tua Mak Yunus mati, lambat laun tugas labai berpindah ke
tangan Mak Yunus. Mak Yunus yang pergi berdoa jika ada hari besar, syukuran,
tahlilan kematian. Sampai tuanya Mak Yunus tetap mengabdi ke surau tuo, Labai
Tabek, di kampung Karang Sadah.
***
Mak Yunus salat subuh sendirian.
Tidak ada makmun yang datang. Kalau ada yang datang hanya Mak Radiah. Kini Mak Radiah
pun tidak datang. Mungkin Mak Radiah sakit. Mak Yunus azan sendirian, kemudian
ia kamat, ia menjadi imam, ia membaca amin, ia menjadi makmum.
Kemarin dan kemarinnya lagi Mak Yunus juga salat sendirian. Mak Radiah
sudah tiga kali subuh tidak datang. Mak Radiah tidak jauh rumahnya dari surau.
Rumah tua lima ratus meter arah selatan surau. Perna Mak Yunus ke sana beberapa
kali, tapi karena ia takut menjadi gunjingan, apalagi Mak Yunus dan Mak Radiah
sama-sama tidak berkawin, hampir sama
pula umurnya, untuk itu Mak Yunus jarang sekali datang ke sana.
Mak Yunus memang tidak pernah mau menikah. Bukan dia tidak mau menikah,
bahkan Mak Yunus hafal benar, nabi menyuruh hambanya menikah. Aku puasa aku
berbuka, aku salat malam aku tidur, aku menikah. Ingat Mak Yunus dengan setiap
jengkal nasehat Rasulullah kepada sahabat.
Satu yang ditakutkan Mak Yunus, kalau ia menikah siapa yang akan merawat
surau.
“Kenapa kau tidak memilih menikah Mak Yunus?” Ujar Mak Radiah suatu pagi
habis salat subuh.
“Saya tak ingin meninggalkan surau, Radiah.”
“Kalau Kau menikah kan Kau tetap bisa ke surau!”
“Ia, tapi aku kan tidak bisa lagi tidur di surau. Tuhan ada di sini,”
tambah Mak Yunus.
“Radiah kenapa tidak menikah?”
“Tidak ada orang yang mau datang kepada saya. Orang kampung kita
menganggap saya orang lama, suka pakai kebaya, tikuluak. Tidak seperti orang kota memakai baju ala negeri luar
sana, rambut di cat.”
“Hanya karena itu!.”
“Entahlah.” Diam. “Aku juga tidak tahu Mak Yunus.”
Sesudah itu mereka berpisah. Mak Yunus kembali melanjutkan rutinitasnya.
Membaca dua halaman al Qur’an. Sesudahnya mengambil sapu lidi di halaman,
membersihkan daun pokat dan daun manggis yang senantiasa bertebaran di halaman.
Sesekali membersihkan lumut batu di sungai kecil, sungai senantiasa dijadikan
Mak Yunus dan Mak Radiah tempat berwuduk.
***
Mak Yunus ingat benar sejak kapan
ia mulai salat sendirian dan terkadang bersama mak Radiah. Saat mak Yunus
berumur 16 tahun, orang-orang sudah mulai masuk kota. Kerantau bujang dahulu di
kampung berguna belum. Beginilah prinsip dipakai orang laki-laki di kampung
Karang Sadah. Kalau bujang tidak merantau merasa tersisih hidup, merasa rendah
harga diri. Kemudian merantaulah bujang satu-satu. Tinggal partai tua. Tak lama
berubah haluan tapian mandi. Siupik pun tak ingin ketinggalan. Merantau gadis dahulu
di kampung berguna belum. Maka banyaklah para gadis merantau. Ia tidak ingin
tertinggal derajat dari kaum laki-laki.
Satu lagi watak orang kampung Karang Sadah, memang jiwa perantau, badan
bertopang kepada rantau. Kalau ndak di rantau ndak hidup. Maka dibekali dengan
ilmu dan iman. Kalau bujang merantau satu hal bujang ingat, jangan lupa salat
dan mengaji. Sesudah itu bertebaranlah bujang di negeri orang. Maklum perubahan
tepian lalu, kalau merantau di masa muda Mak Yunus, asal ada kemauan dan keberanian
berangkatlah.
Sesak Malaysia, Arab Saudi, Jepang, Brunai, cina. Indonesia datang jadi
TKW. Duduk di dapur, menjadi tukang cuci, penghuni gudang, gaji besar.
Orang-orang rantau itu pulang dengan sumbangan-sumbangan uang serta bahan
bangunan. Mereka menenteng karpet, kubah, keramik, genteng, semen. Maka dalam
beberapa tahun sesudah umur 16, ramailah surau di kampung Karang Sadah. Surau berjajar
di daerah Lakuak, Rak Hili, Rak Ateh, Rak Baruah, Mudiak, Buah Kajai, Rumah
Suluak, Tabek, Rangsudu, Limau Asam, Limau Manih. Hiasan surau penuh, al Qur’an
berjajar banyak, tulisan doa dipasang megah. Orang-orang tak perlu lagi memakai
suluh malam-malam, tidak ada lagi iring-iringan obor, tidak ada lagi mesti
masuk jalan setapak yang panjang di antara ladang tebu, lumpur ketika hujan.
***
Mak Yunus merintih dengan kesendiriannya, tidak terdengar bunyi abang[5]
berkumandang, tidak ada bunyi yasinan malam kamis, tidak ada lantunan al
Qur’an.
***
Mak Yunus berhenti membaca al Quran, ia tutup pada ayat
200. Mak Yunus berjalan pelan sambil meluruskan sarungnya. Kini badannya sudah
bungkuk. Tulangnya sudah rapuh. Ia berjalan menuju halaman. Tujuannya
membersihkan halaman surau dari daun pokat dan manggis yang bertebaran ulah
angin semalam.
Kini mak Yunus memang sudah dekat kepada kepala ajal.
Mungkin sebentar lagi ia akan meninggalkan surau. Siapakah yang akan abang, qamat, imam bagi Mak Radiah,
kalau Mak Yunus sudah tiada? Orang-orang lebih suka menonton TV, mendengarkan
radio, duduk di lapau, daripada salat di surau.
Mak Yunus duduk di tepi air, ia membayangkan masa
kanak-kanaknya, masa kanak-kanaknya orang-orang ramai ke surau, menghafal kaji,
buah sembahyang. Malam-malam berteriak riang sambil pulang surau, kemudian
kembali ke surau iring-iringan obor di pinggiran ladang tebu.***
Padang, 7 -25 Juli-20 September 2010
[1] Lalok, artinya tidur
[2] Sumbahyang, artinya
salat, orang-orang karang sadah senantiasa menyebut salat dengan sumbahyang
[3] Mengaji, sama dengan
berguru
[4] Tikuluak, kain tutup
kepala traditional. Kain ini umunnya digunakan orang minang pedalaman yang
masih kental adat.
[5] Abang, sama dengan azans
Tidak ada komentar:
Posting Komentar