Click this!!!

Postingan Terbaru


Sabtu, 24 November 2012

Susi Ingin Azan

Cerpen Alizar Tanjung
Terbit di Berita Pagi


            Sehabis subuh minggu, Susi datang menangis-nangis sambil berlari dari masjid tuo[1] di tengah kampung. aku tak tahu kenapa dia menangis. Yang jelas saat ia menaiki pendakian sampai ke Rumahgadang ini, ia datang sambil menghusap-husap matanya, membiarkan mukenahnya menghapus jejak tanah basah malam tadi, membiarkan rambutnya acakan keluar dari tepi kening mukenah. Kenapa dengan anak manisku, sungguh aku tidak tahu. Belum sempat ia sampai di pintu aku sungguh tak menduga. Aku jadi heran kenapa jadi begini, tidak pernah Susi seperti ini. “Ma, Susi mau azan, Ma!” permintaanya yang terdengar setengah teriak.
            Susi. Ada apa dengan Susi? Ya, itu pertanyaan pertama yang tumbuh di benakku. Barangkali ini sebuah lelucon para punggawa cerita-cerita raja jawa, tapi ini daerah Minangkabau, di mana adat dijunjung tinggi, agama pun lebih di atas dari adat. Adat bersandar syarak, syarak bersandar kitabullah. Begitulah yang pernah diajarkan guru di surau waktu kecil-kecil dulu. Kalau masih tak percaya boleh datang ke rumah tuan guru. Tapi sungguh bukan pula lelucon, tak berani aku mengatakannya demikian. “Ma, aku mau azan Ma!” begitulah permintaanya yang kedua kali. Membuatku hanya terpaku pada pintu berjenjang naik dan berjenjang turun.
            Susi mendekati tangga batu sepuluh meter pendakian sebelum sampai di tangga kayu ini. Telah saja basah mukenanya terpercak embun air di bunga bonsai yang mengapit jalan setapak sepanjang pendakian. Sesekali hampir ia terjatuh di tanah yang licin. Ia tak peduli.
            Yang aku ingat Susi diqamatkan ketika ia lahir, di telinganya. Tidak ada cerita anak perempuan yang diazankan. Ketika melahirkan adiknya Susi  yang lansung mati setelah beberapa saat memandang dunia, ia diazankan. Bagi lelaki adalah tempat baginya untuk berkumandang azan. Sedang cukup bagi jemaah laki-laki atau perempuan mendengarkan azan dan menjawabnya, penuhi seruan Tuhan. Tapi tidak, tidak ada perempuan yang minta diazankan. Tapi….
            “Susi Ingin Azan, Mama!” itu perkataan yang ketiga ia sampai di tangga pertama. Masih aku tidak bicara apa-apa. Apa yang mau dibicarakan kalau yang dibicarakan sama sekali yang tidak aku tahu. Mengenai Susi bukankah ia anakku! Benar, ia anakku. Mengenai tingkah laku otak anak siapakah ia? Ia tetap anakku.
            Guru di surau mengajarkan Azan berkumandang dalam. Telah terdengar kumandang bertalu-talu dalam ringis angin yang merdu. Telah pula terbaca arti dan doa bagi pendengar. Guru mengajarkan tentang hak dan kewajiban terhadap Allah, telah pula ia sampaikan lembaran ilmu yang dalam tentang fikih dan perbekalan agama umum.
            “Anak-anakku hidup ini diposisikan Tuhan sesuai pada tempatnya,” kata guru. Kami mengangguk.
            “Anak-anakku kalau Kau nanti sudah punya pendamping hidup, janganlah lupa Kau dengan ajaran Tuhan kita. Biarlah kita hendak belajar dengan orang tua-tua kita. Tentunya Kau takkan selamanya di kampus ini anak-anakku. Kalau Kau ingin beristri atau bersuami carilah pendamping hidup dunia dan pendamping hidup di akhirat.
Anakku apa lah hendak dimaksud oleh Gurumu ini, Nak. Jangan kau lupa kalau hidup ini akan berakhir, jangan Kau lupa bahwa kita akan mengalami masa tua. Pasti ada itu Nak baginya ajalnya yang belum sampai.
Anak-anakku kalau Kau punya berumah tangga, janganlah hendak kau qamatkan bagi anak perempuan, jangan lupa kau azankan anakmu jika dia laki-laki.” Begitulah ngiang suara guru yang masih berdenting panjang di telingaku.
Kulihat Susi sudah di depanku. Di depan, kampung seperti pucuk dalam pusara. Berada dalam titik lingkaran. Susi minta di angkat, perlahan ia kuletakkan di pinggang. Aku semakin heran kini. “Susi mau azan, Ma.” Tidak sekali, tidak dua kali, tidak tiga kali….
Ketika ditanya kenapa ingin Azan Susi, ia tak menjawab. Ia hanya meronta, “ Pokoknya aku ingin azan, Ma. Aku kebingungan sendiri bagaimana azan bagi anak perempuan. Aku lihat langit yang sudah mulai ditumbuhi matahari di timur. Masih segar di wajah Susi hinggap cahayanya.
“Azan, Ma,” rengeknya lagi.
“Anak perempuan itu tidak untuk Azan anak Mama,” kataku. Tapi ia tidak terima. Ia masih saja meronta dengan mengoyang-goyangkan badannya dalam pangkuan. Kuancam ia akan turunkan dari pangkuan. Ia tidak terima. “Mama jahat,” begitu katanya. Sedih juga aku memikirkan Susi.
            “Susi lihat itu ada kupu-kupu di bunga mawar di halaman rumah kita,” kataku meredakan tangisnya. Berhasil memang. Aku ajak ia turun jenjang memperhatikan kupu-kupu kuning sedang bertengger pada salah satu kelopak mawar. Susi menurut tapi tak terdengar suaranya.
            “Lihat kupu-kupu itu sedikit bercampur bintik hitam di punggunya, Susi.” Ia masih diam, kuturunkan ia dari pangkuan. Ia kembali meronta, “Aku tak mau kupu-kupu! Aku tak mau bunga mawar! Aku tak mau taman! Aku mau azan  di masjid tuo di tengah kampung.”
Aku terhenyak.
            “Anak Mama, Susi itu kan perempuan jadi anak perempuan tidak boleh azan sayang mama.”
            “Kenapa tidak boleh, Ma?”
            “karena ia perempuan.”
            “Perempuan apa bedanya dengan laki-laki, Ma. Kok anak laki-laki pak Malin beloh azan, kenapa Susi tidak.”
            “karena anak Pak Malin-mu laki-laki Susi.”
            “Kalau  begitu aku ingin jadi anak laki-laki, Mama. Aku ingin azan, Ma. Aku ingin azan di masjid tuo, Ma.” Kata Susi sambil menunjuk masjid tuo. Sungguh merupakan pukulan terberat. Bukankah aku yang melahirkannya? Adalakah yang ingin mengatakan tidak? Tidak. Tidak boleh ada yang mengatakan demikian.
            “Tidak bisa sayang.”
            “Kenapa tidak bisa, Ma?”
            “Karena sayang Mama sudah ditakdirkan jadi perempuan. Sayang Mama harus bangga jadi perempuan.”
            Susi menekur, mengambil kelopak bunga mawar yang memutih di luntur air embun. Ia letakkan di telapak tangan. Ia menekur, lalu merunduk meletakkan di rumpun bunga bonsai dalam pot.
            “Kenapa bunga tak pandai ia bersuara agar ia bisa azan?” tanpa tahu dengan siapa Susi berbicara.
***
            Seharian aku tidak bisa apa-apa. Kenapa dengan susi? Kenapa ia ingin azan? Kenapa ia harus azan di nasjid tuo. Susi sudah tidur. Tak ada aku ajarkan kalau ia harus azan. Tidak ada aku sampaikan kalau ia harus bisa bersuara panjang hanya untuk melafaskan lafaz azan.Tidak. Tidak ada aku mengajarkan yang demikian. Kulihat Susi ke dalam kamarnya, ia masih terbaring di atas bantal di lantai.
            Aku berjalan ke dapur. Tapi belum sempat melangkah aku mendengar ketakutan Susi. “Jangan! Jangan!” katanya.
            Aku masuk membuka pintu yang terbuka sepanjang dua jengkal.
            “Aku tak mau azan. Aku tak mau iqamat. Aku mau berdoa. Aku mau mendengarkannya, lalu menjawab.Tidak pak ustad, aku tidak mau azan, jangan ustad katakan kalau tidak ada orang yang mau azan. Aku anak perempuan. Tidak! Tidak benar pak ustad kalau Susi azan.”
            Kubangunkan Susi, ia belum juga bangun. Aku angkat tubuhnya baru dia terbangun. “Aku mau Azan, Ma.” Aku tidak mengerti ada apa dengan Susi.*lingkarputih, 2009  



[1] Masjid Tua

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © 2011. FLP Sumbar: Susi Ingin Azan . All Rights Reserved
Template modify by Creating Website. Remodified by Aini