Cerpen Alizar Tanjung
Terbit di Berita Pagi
Kubangunkan Susi , ia
belum juga bangun. Aku angkat tubuhnya baru dia terbangun. “Aku mau Azan, Ma.” Aku
tidak mengerti ada apa dengan Susi.*lingkarputih, 2009
Terbit di Berita Pagi
Sehabis subuh minggu, Susi datang menangis-nangis sambil berlari
dari masjid tuo[1]
di tengah kampung. aku tak tahu kenapa dia menangis. Yang jelas saat ia menaiki
pendakian sampai ke Rumahgadang ini, ia datang sambil menghusap-husap matanya,
membiarkan mukenahnya menghapus jejak tanah basah malam tadi, membiarkan
rambutnya acakan keluar dari tepi kening mukenah. Kenapa dengan anak manisku,
sungguh aku tidak tahu. Belum sempat ia sampai di pintu aku sungguh tak
menduga. Aku jadi heran kenapa jadi begini, tidak pernah Susi seperti ini. “Ma,
Susi mau azan, Ma!” permintaanya yang terdengar setengah teriak.
Susi. Ada apa dengan Susi? Ya,
itu pertanyaan pertama yang tumbuh di benakku. Barangkali ini sebuah lelucon
para punggawa cerita-cerita raja jawa, tapi ini daerah Minangkabau, di mana
adat dijunjung tinggi, agama pun lebih di atas dari adat. Adat bersandar
syarak, syarak bersandar kitabullah. Begitulah yang pernah diajarkan guru di
surau waktu kecil-kecil dulu. Kalau masih tak percaya boleh datang ke rumah
tuan guru. Tapi sungguh bukan pula lelucon, tak berani aku mengatakannya
demikian. “Ma, aku mau azan Ma!” begitulah permintaanya yang kedua kali.
Membuatku hanya terpaku pada pintu berjenjang naik dan berjenjang turun.
Susi mendekati
tangga batu sepuluh meter pendakian sebelum sampai di tangga kayu ini. Telah
saja basah mukenanya terpercak embun air di bunga bonsai yang mengapit jalan
setapak sepanjang pendakian. Sesekali hampir ia terjatuh di tanah yang licin.
Ia tak peduli.
Yang aku ingat Susi
diqamatkan ketika ia lahir, di telinganya. Tidak ada cerita anak perempuan yang
diazankan. Ketika melahirkan adiknya Susi
yang lansung mati setelah beberapa saat memandang dunia, ia diazankan. Bagi lelaki adalah
tempat baginya untuk berkumandang azan. Sedang cukup bagi jemaah laki-laki atau
perempuan mendengarkan azan dan menjawabnya, penuhi seruan Tuhan. Tapi tidak,
tidak ada perempuan yang minta diazankan. Tapi….
“Susi Ingin Azan,
Mama!” itu perkataan yang ketiga ia sampai di tangga pertama. Masih aku tidak bicara
apa-apa. Apa yang mau dibicarakan kalau yang dibicarakan sama sekali yang tidak
aku tahu. Mengenai Susi bukankah ia anakku! Benar, ia anakku. Mengenai tingkah
laku otak anak siapakah ia? Ia tetap anakku.
Guru di surau mengajarkan
Azan berkumandang dalam. Telah terdengar kumandang bertalu-talu dalam ringis
angin yang merdu. Telah pula terbaca arti dan doa bagi pendengar. Guru mengajarkan
tentang hak dan kewajiban terhadap Allah, telah pula ia sampaikan lembaran ilmu
yang dalam tentang fikih dan perbekalan agama umum.
“Anak-anakku hidup
ini diposisikan Tuhan sesuai pada tempatnya,” kata guru. Kami mengangguk.
“Anak-anakku kalau Kau
nanti sudah punya pendamping hidup, janganlah lupa Kau dengan ajaran Tuhan
kita. Biarlah kita hendak belajar dengan orang tua-tua kita. Tentunya Kau takkan
selamanya di kampus ini anak-anakku. Kalau Kau ingin beristri atau bersuami
carilah pendamping hidup dunia dan pendamping hidup di akhirat.
Anakku apa lah hendak dimaksud oleh Gurumu ini, Nak. Jangan
kau lupa kalau hidup ini akan berakhir, jangan Kau lupa bahwa kita akan
mengalami masa tua. Pasti ada itu Nak baginya ajalnya yang belum sampai.
Anak-anakku kalau Kau punya berumah tangga, janganlah
hendak kau qamatkan bagi anak perempuan, jangan lupa kau azankan anakmu jika
dia laki-laki.” Begitulah ngiang suara guru yang masih berdenting panjang di
telingaku.
Kulihat Susi sudah di depanku. Di depan, kampung seperti
pucuk dalam pusara. Berada dalam titik lingkaran. Susi minta di angkat,
perlahan ia kuletakkan di pinggang. Aku semakin heran kini. “Susi mau azan, Ma.”
Tidak sekali, tidak dua kali, tidak tiga kali….
Ketika ditanya kenapa ingin Azan Susi, ia tak menjawab.
Ia hanya meronta, “ Pokoknya aku ingin azan, Ma. Aku kebingungan sendiri
bagaimana azan bagi anak perempuan. Aku lihat langit yang sudah mulai ditumbuhi
matahari di timur. Masih segar di wajah Susi hinggap cahayanya.
“Azan, Ma,” rengeknya lagi.
“Anak perempuan itu tidak untuk Azan anak Mama,” kataku.
Tapi ia tidak terima. Ia masih saja meronta dengan mengoyang-goyangkan badannya
dalam pangkuan. Kuancam ia akan turunkan dari pangkuan. Ia tidak terima. “Mama
jahat,” begitu katanya. Sedih juga aku memikirkan Susi.
“Susi lihat itu ada
kupu-kupu di bunga mawar di halaman rumah kita,” kataku meredakan tangisnya.
Berhasil memang. Aku ajak ia turun jenjang memperhatikan kupu-kupu kuning
sedang bertengger pada salah satu kelopak mawar. Susi menurut tapi tak
terdengar suaranya.
“Lihat kupu-kupu
itu sedikit bercampur bintik hitam di punggunya, Susi.” Ia masih diam,
kuturunkan ia dari pangkuan. Ia kembali meronta, “Aku tak mau kupu-kupu! Aku
tak mau bunga mawar! Aku tak mau taman! Aku mau azan di masjid tuo di tengah kampung.”
Aku terhenyak.
“Anak Mama, Susi
itu kan perempuan
jadi anak perempuan tidak boleh azan sayang mama.”
“Kenapa tidak boleh,
Ma?”
“karena ia
perempuan.”
“Perempuan apa
bedanya dengan laki-laki, Ma. Kok anak laki-laki pak Malin beloh azan, kenapa
Susi tidak.”
“karena anak Pak Malin-mu
laki-laki Susi.”
“Kalau begitu aku ingin jadi anak laki-laki, Mama. Aku
ingin azan, Ma. Aku ingin azan di masjid tuo, Ma.” Kata Susi sambil
menunjuk masjid tuo. Sungguh merupakan pukulan terberat. Bukankah aku
yang melahirkannya? Adalakah yang ingin mengatakan tidak? Tidak. Tidak boleh
ada yang mengatakan demikian.
“Tidak bisa
sayang.”
“Kenapa tidak bisa,
Ma?”
“Karena sayang Mama
sudah ditakdirkan jadi perempuan. Sayang Mama harus bangga jadi perempuan.”
Susi menekur,
mengambil kelopak bunga mawar yang memutih di luntur air embun. Ia letakkan di
telapak tangan. Ia menekur, lalu merunduk meletakkan di rumpun bunga bonsai dalam
pot.
“Kenapa bunga tak
pandai ia bersuara agar ia bisa azan?” tanpa tahu dengan siapa Susi berbicara.
***
Seharian aku tidak
bisa apa-apa. Kenapa dengan susi? Kenapa ia ingin azan? Kenapa ia harus azan di
nasjid tuo. Susi sudah tidur. Tak ada aku ajarkan kalau ia harus azan.
Tidak ada aku sampaikan kalau ia harus bisa bersuara panjang hanya untuk melafaskan
lafaz azan.Tidak. Tidak ada aku mengajarkan yang demikian. Kulihat Susi ke
dalam kamarnya, ia masih terbaring di atas bantal di lantai.
Aku berjalan ke dapur.
Tapi belum sempat melangkah aku mendengar ketakutan Susi. “Jangan! Jangan!”
katanya.
Aku masuk membuka
pintu yang terbuka sepanjang dua jengkal.
“Aku tak mau azan.
Aku tak mau iqamat. Aku mau berdoa. Aku mau mendengarkannya, lalu menjawab.Tidak
pak ustad, aku tidak mau azan, jangan ustad katakan kalau tidak ada orang yang
mau azan. Aku anak perempuan. Tidak! Tidak benar pak ustad kalau Susi azan.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar