Click this!!!

Postingan Terbaru


Sabtu, 24 November 2012

Senandung Riyadlotu di Bukit Malam

Cerpen Alizar Tanjung
Cerpen nominator lomba cerpen Nasional yang diadakan Stain Purwokerto 2010

ke dalam Allah kita berlari mengejar aku
binar yang menyentuh lembut hati
seperti bulan dalam nur memetik malam
mencuri setiap lafaz yang berkumandang menghias malam
ini tamantaman yang terlahir dari telaga
hambahamba yang meneteskan air mata di sajadah
dan kita masih mencaricari aku

Riyadlotu tuliskan satu puisi di buku diary berkulit putih, di atas meja kecil dekat jendela, di bawah cahaya damar, dekat al Qur’an. Ia pandang bulan. Kembali ia tuliskan satu baris.
Ayatayat Tuhan ayatayat, aku
            Malam yang senyap malam yang dimasuki cahaya bulan dari kaca kamar. Bulan mencuri malam. Malam terserah bulan. Masih di luar bulan yang genap dengan bulat. Tentunya ini bukan tentang cahaya malam. Tapi ini tentang terang bulan yang masuk diam-diam ke dalam kamar Riyadlotu. Bulan yang senyap bulan yang memilikki sedikit wajah Riyadlotu. Tampak sudah wajah gadis pondok pesantren itu remang dalam cahaya bulan.
Ia ingat-ingat kembali kata ibu, saat masih di rumah, duduk berjuntai di teras rumah kayu, menghadap ke sebatang pohon jambu air yang berseberangan dengan pohon mangga. Ya, ketika masih di bawah bulan genap seperti malam ini. Masih bulan yang diam di atas langit. Riyadlotu, Ibu ingin kamu mensenandungkan Al Qur’an dalam hafalan. Seperti Hamba Allah yang suci, hamba Allah yang menjaga Al Qur’an. Dalam Qur’an ada cahaya. Orang bercahaya di samping Tuhan.”
Betapa kepada bulan ibu memandang. “Bulan yang tersenyum,” kata ibu. Riyadlotu hanya menyaksikan saja. Ibu letakkan satu Qur’an di samping Riyadlotu.
“Seperti kakekmu juga tahfidzul Qur’an. Ibumu ini juga hampir menyelesaikannya. Tapi apa yang ibu harapkan tidak semua tercapai.”
Maka malam di bawah bulan tinggal Riyadlotu yang sendirian. Mengamati bulan dari matanya mengarang kisah yang bagaimana di masa mendatang. Hanya bisa menerkanya saja. Ia sandang dingin yang tubir dari bibir langit, seperti menyandang cahaya bulan yang jatuh di wajahnya, yang jatuh di jilbab putihnya, yang jatuh di baju kurungnya, yang jatuh di sebahagian jemari tangannya yang dibiarkan berjuntai. Sepuluh jari yang menunjuk tanah.
Kini dua tahun telah berlalu. Di kamar ini kamar dalam cahaya bulan, semua kembali terlintas.
Ia ingat kakek yang bercerita. Kakek yang telah pergi ke dalam kuburnya. Sudah satu tahun yang yang lenyap.
“Cu, Riyad.” Begitu kakek memanggilnya. Ketika itu kakek dan ia sedang duduk di mushallah kecil di rumahnya. Mushallah yang di bangun di sudut rumah arah utara.
Baru saja sehabis subuh yang dingin ia dan kakek berjuntai di teras Mushallah. Kakek duduk dengan kain sarungnya. Ayah, ibu sudah duluan masuk rumah. Terdengar sudah senandung Qur’an di pagi yang masih berembun.
Riyadlotu dan kakek masih duduk. Tentu pula kakek yang memintanya. Ia yang meminta cucu tersayang untuk mendengar ceritanya. Setiap cerita di masa lalu kakek, yang dikenang di masa kenang.
***
            “Dahulu kakek Tinggal di pesantren. Semasa Kakek masih muda, seperti kamu ini kira-kira, Cu Riyad. Kakek merasakan gembira dan sedih silang berganti. Maka, sajalah itu telah mengajarkan pengalaman hidup yang cukup kaya di masa tua Kakek, Cu.
            Um m m h h h. Betapa Kakek gembiranya, Cu.”      
            “Ceritakanlah Kek?! Ayo kek, ceritakanlah kek?!” Riyadlotu merajuk Kakek. Kakek hanya tersenyum. Setiap mendengar cerita kakek, Riyadlotu lah yang paling ingin mendengarnya. Jadi, kalaupun kakek tidak meminta Riyadlotu menunggu sehabis subuh, sudah saja Riyadlotu menunggu kakek. Tapi karena kebiasaan kakek yang perhatian terhadap cucu si matawayang, maka kakek jugalah yang berbuat.
            “Ya, Cu. Kan Kakek ceritakan. Seterusnya. Entah bagaimana prosesnya Kakek masuk ke pesantren, salah satu pesantren ternama di Bukittinggi. Tempat kakekmu ini di lahirkan. Kakek sedikit lupa bagaimana ceritanya. Kakek lupa-lupa ingat, Cu.”
            “Yaaa kakek….”
            “Tapi, Cu, ada yang tak bisa Kakek lupakan. Sesuatu yang amat berkesan dalam diri Kakek. Bahkan masih Kakek bawa sampai sekarang dan ia Alhamdulillah tumbuh dalam diri kakek ini. Seperti yang dikatakan ibumu kemarin di teras rumah. Kakek juga mendengarnya sejenak. Ibumu bercerita tentang kakek, Bukan!” Riyadlotu mangguk.
            “Kakekmu di sana harus menamatkan hafalan Qur’an. Itu nikmat, Cu. Lebih nikmat lagi prosesnya, Cu. Kau tahu daun pisang, Cu, daun pisang yang masih muda, daun pisang yang masih tergantung di batang yang kukuh berdiri? Ah, Kakek senyum sendiri mengingatnya, Cu.
            Kakek ambil daun pisang setiap pagi hari menjelang fajar. Tentu pula orang-orang sedang asyiknya tidur di pondok pesantren. Tentu pula kakek mengambil daun pisang ini untuk persiapan seminggu kemudian. Itupun kalau tidak rusak. Kalau rusak tentulah kakek harus megambilnya untuk sekali tiga hari….”
            “Untuk apa daun pisang, Kek?”
            “Sabar, Cu.”
            “Ya, kek.”
            “Kakek Lanjutkan lagi. Daun pisang itu kakek lap dengan baju kakek. Kakek masih ingat baju yang sering Kakek gunakan baju yang bergambar seorang lelaki tua sedang memakai topi jerami. Gambarnya tepat di bagian depan. Tentu pula baju itu baju yang sedang kakek pakai.” Kakek tertawa. Tampaklah giginya yang masih utuh. Riyadlotu geli sendiri mendengarnya.
            “Daun pisang itu selalu Kakek bawa ke kamar dengan mengendap-ngendap, Cu. Kakek bawa daun pisang masuk dari pintu belakang. Kakek berjalan bersijingkat. Takut ketahuan oleh orang. Lagian juga tidak baik diketahui orang. Kalau diketahui anak pesantren, takutnya akan berkurang nilai nikmatnya….”
            “Kakek lucu. Kakek berjalan seperti mencuri.”
            Keduanya tertawa. Kakek senang melihat tawa Riyadlotu. Di dalam Mushallah sudah mulai remang gelap. Ibu mematikan lampunya. Di dalam masih terdengar senandung Qur’an ayah.
            “Cu, ini berhubungan dengan nasehat ibu Kakek, buyutmu. Seperti permintaan Ibumu, Cu. Ibu kakek meminta kakek untuk menjadi penghafal Qur’an. Orang-orang yang mau menjaga al Qur’an, orang-orang mulia di sisi Allah. Ibu kakek meminta yang demikian menjelang beliau di panggil Allah. Menghadap keharibaannya. Jadi kakekmu ini ketika masih pesantren tingkat pertama sudah kehilangan ibu. Ayah Kakek, kakek buyutmu, juga telah terlebih dahulu meninggalkan Kakek dan buyutmu.”
Riyadlotu diam.
“Cucu Kakek jangan murung begitu. Buyutmu pergi karena memang sudah harus pergi. Karena sudah uzur. Juga kakek buyutmu.”
“Kek….”
“Sudah… Kakek lanjutkan.
Kakek menggunakan daun pisang itu merasakan kenikmatan membaca dan menghafal Qur’an, Cu. Ada sesuatu yang Kakek rasakan ketika Kakek menggunakan daun pisang. Rasanya lebih bertambah dekat Kakek kepada Allah. Tentu pula bukan karena daun pisang, Cu. Kalau seperti itu syirik namanya, Cu.
Daun pisang itu kakek bentangkan di tengah malam kelam. Sebagai tikar yang membentang sepanjang tubuh Kakek, Cu. Daun pisang yang baru saja Kakek petik. Entah dua hari yang lalu, entah satu hari yang lalu, entah tiga hari yang lalu. Tapi begitulah, Cu. Setiap Kakek sudah membentang tikar daun pisang bertambah-tambahlah nikmatnya bagi Kakek. Bertambah pula semangatnya kakek. Biasanya kakek membentang setelah semua orang tidur. Tidak inginlah Kakek diketahui oleh teman-teman yang lain. Takutlah kakek pada yang namanya ria. Dosa kecil yang bisa menggunung. Kalau sudah menggunung tentulah jadi dosa yang besar pula ia. Kalau begitu termasuklah kita orang yang merugi, Cu.”
Riyadlotu terlena mendengarkan cerita kakek. Ia juga penasaran dengan cerita kakek. Tak mau ia memotong kakek. Hilanglah indahnya jikalah ia terus mengganggu.
“Kalaulah kakek membentang daun pisang teringatlah buyutmu yang sering tidur di lantai tanah. Buyutmu juga tidak mau tidur di dipan kayu. Buyutmu selalu berkata, ‘Tidur di tanah Nikmat, Nak. Kita selalu merasa Tuhan bersama kita. Malamnya membangunkan kita untuk bermunajab dalam sujud yang panjang.’
Kakek tidur di daun pisang, Cu. Benar apa yang dikatakan Buyutmu tentang nikmatnya dengan kesendirian, dengan rasa syukur. Kalaulah begitu bertambah-tambahlah semangat Kakek hendak menamatkan hafalan Qur’an. Setidaknya kakek dalam satu hari bisa menghafalkan satu halaman Qur’an timbal-balik. Tapi kakek biasanya mengharuskan, kalau kakek membaca Qur’an harus bisa dua halaman Qur’an timbal balik.
Semakin rindulah kakek kalau membaca Qur’an itu setelah tidur di atas daun pisang. Dingin daun pisang mengingatkan kakek kepada kesederhanaan hidup. Dingin daun pisang mengingatkan kakek malam yang sunyi, malam yang penuh gigil. Di mana orang tidur dengan bantalnya dan alas tikar kasurnya, setidaknya lantai kayu, kakek malah tidur dengan alas daun pisang. Setiap tengah malamnya itulah, Cu. Kakek bangun. Kakek Berjalan ke sumur yang terletak di ujung asrama. Kakek gayung air. Betapa masih terasa dinginnya.
Kakek bersenandung al Qur’an kadang dengan sedih, kadang dengan tangis, kadang dengan senyum. Banyak hal yang bisa didapatkan dalam Qur’an. Kakek hafal Qur’an dengan air mata. Kakek ingat kesederhaan ibu yang telah pergi. Kakek ingat betapa dinginnya daun pisang.
Kakek lihat pula ke luar jendela langit yang penuh bintang, Cu.
Satu hal lagi, Cu. Kakek sangat bergembira sekali  setiap malamnya. Dalam hafalan Qur’an Kakek, setiap malamnya pula memandang bulan di luar jendela––Walaupun sebenarnya tidak pada malam-malam tertentu. Bulan di hari pertama, kedua, ketiga atau tiga hari menjelang hari akhir bulan Hijriyah, atau hari hujan. Tentulah bulan tidak dapat dipandang, kalau ada hanya remangnya saja––
Saat itu jendela kayu. Kakek biarkan jendela itu terbuka. Sedangkan damar––lampu minyak tanah bersumbu kain, dari botol minuman––kakek rapat ke arah dinding agar tidak mati. Ya, begitulah Cu. Alhdamdulillah dalam tiga tahun kakek selesai hafalan Qur’an. Sedangkan mengenai daun pisang itu sehabis menjelang subuh kakek selipkan di belakang lemari kayu, lemari baju. Tidak ada yang mengetahui.
“Nah. Sekarang kamu sudah mendengar certia kakek. Ayo kita masuk, Cu. Ayah dan Ibumu sudah menunggu di dalam.”
***
            “Seorang manusia yang mana atau yang apa? Tapi betapa manusia yang lebih manusia menikmati kehadiran Allah sebagai Allahku. Seorang manusia dan manusia atau yang lebih tinggi dari manusia mana yang lebih aku dan mana yang lebih Dia. Tetap saja adalah Ia yang menjadikan aku. Dan aku adalah apa daripada aku.”

            Aku tersurat dan tersirat
Tapi seperti apa?Seperti kalam Tuhan dalam kalam

Diary yang merangkai cerita Riyadlotu. Kini Diary itu berpindah halaman. Bait-bait terus mengalir. Dinding mendengar cerita-cerita hati Riyadlotu. Hanya beku itu persangkaan dasar manusia. Tapi hidup itu persangkaan alam batin manusia. Ungkai cerita sarat yang paling makna dari makna.
Damar masih remang keemasan. Riyadlotu sejenak berhenti menulis. Tak lama ia lihat langit yang masih terang bulan. Ia tarik nafas dalam. Ia rasakan dingin yang merasut dari celah jendela.
***
Kini dalam bulan semua terbayang. Yang tak teringat kembali teringat. Bulan dalam kamar bulan yang juga masuk dalam Qur’an.
Dalam cahaya damar bulan terus berkuasa. Pada malam dan pada kamar, maka jendela itu tetap saja tidak ditutup tirainya. Seperti Riyadlotu yang memandang bulan. Seperti juga Allah yang membawa-bawa bulan dalam al Qur’an. Surat Al Qamar. Ya Riyadlotu tahu itu. Kembali ia menatap bulan. Tentu saja bulan sudah bergeser dari tempat duduknya di langit.
Betapa bulan begitu riang di langit. Pasti bulan sedang menatap bintang-bintang. Bulan meminta bumi bersedia ditempati cahayanya. Hanya ada bulan dan cahaya. Pasti bulan bertambah rekah senyumnya di langit. Bulan cahaya. Ya, siapa saja boleh menorehkan nama bulan. Seperti Riyadlotu yang mengatakan “Bulan Qur’an.” Begitulah ia menamakannya. Setiap ia membaca Qur’an berteman bulan.
Seperti malam ini. Riyadlotu biarkan damar terus menyala. Sebenarnya tidak hanya untuk malam ini. Seperti malam-malam kemarin juga ia hidupkan damar Tanpa bulan bulat. Hanya ada bulan sumbing. Hanya ada bulan setengah. Riyadlotu telah memakainya.
Ia dekatkan damar sedikit lebih mendekat sudut matanya. Sekali lagi ia torehkan sebait puisi.
ke dalam ayat bibir yang bersenandung
mengikrarkan katakata suci kalimat Kalam Tuhan
bagi cahaya ada aku, bagi bulan ada cahaya
bagi al Qur’an ialah cahaya.

Bulan sepotong aku
Riyadlotu lipat Diary. Sebentar, lagi, ia pandang bulan. Bulan di tahta langit. Ia buka Al Qur’an. “Nanti malam aku harus melanjutkan hafalan al Qur’an juz 21, surat lukman mulai ayat pertama,” gumam Riyadlotu. Ia tutup tirai jendela. Dingin yang gigil. Kini kembali semua gelap.  Di sudut kamar tangan kecil bergerak pelan ke balik lemari kayu? Tentu saja tangan Riyadlotu. Tangan mungil yang membentang daun pisang sebagai tikar.
Di luar bulan masih berdiri di tahta langit. Ada bulan dan cahaya. Ada bulan dan langit. Ada bulan dan bintang. Ia senandungkan kata-kata yang begitu merdu sebelum doa berkumandang.
aku dan aku mana akan aku temui?
tapi menemui Allahku dalam setiap kalam
betapa aku begitu rindu untuk dicium keningku
sebelum aku benarbenar tidur di pangkuan-Nya.***Lingkarputih, 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © 2011. FLP Sumbar: Senandung Riyadlotu di Bukit Malam . All Rights Reserved
Template modify by Creating Website. Remodified by Aini