Cerpen Alizar
Tanjung
Terbit di Haluan, 31 Januari 2010
Ia datang kepadaku pas hujan-hujan sedang rinai di
senja-senja raya. Aku tak tahu kenapa ia
begitu terburu-buru. Tak sempat ia tutup pagar bambu. Sesudahnya ia sudah saja tiba
di halaman. Basah, kuyup, melekat di badan, begitulah gambarannya di senja
raya.
Di senja rinai bercampur cahaya matahari. Orang
menyebutnya hujan panas. Kebiasaan orang kampung Karang Sadah ini mengatakan,
kalaulah hujan panas sedang merenda turun pasti sedang ada kemalangan. Orang
lebih sering mengaitkan dengan kematian. Aku tidak begitu yakin dengan semua
ocehan itu. Tapi begitulah yang selalu berdengung, entah alasan apa hujan
panas seperti kejadian gaib saja di kampung Karang Sadah ini. Sudah sejak lama
lagi. Bahkan sebelum aku lahir ke atas dunia ini, mengeak merasakan
segala kefanaan, kepercayaan hujan panas dan kematian sudah ada.
Ibu pernah katakan, “Kalau hari sedang hujan panas,
jangan kau bermain di luar ya Nak. Nanti kau sakit.” Sudah lama sekali kata itu
terngiang. Tentu saja pada masa kanakku yang lugu. Yang aku tahu harus menurut.
Maka aku turutkan saja perkataan ibu. Seharian aku tidak bermain keluar rumah.
Aku duduk saja di dalam sambil membantu anyaman ketupat bersama ibu.
Aku tanyakan ke Ibu, “Kenapa gak boleh keluar Ibu. Aku
ingin melihat hujan panas dengan garis-garis emas di senja raya dari atas bukit
kampung ini. Saat itu aku bisa melihat kabut di atas kepalaku. Matahari di
ujung barat bersebelahan dengan puncak gunung Talang.”
“Gak baik anak Ibu berkeliaran dalam hujan panas. Nanti
anak Ibu benar-benar sakit.”
“Tapi, Bu, aku belum pernah bermain hujan panas. Kata Ibu
kalau aku bermain hujan panas nanti aku sakit. Bu, kemarin si Ujang bermain
hujan panas ia tidak sakit,” kataku merayu ibu serambi meletakkan anyaman
ketupat dalam gayung hitam. Ibu tak banyak menanggapi pertanyaanku. Aku juga
tidak bisa berbuat banyak. Anyaman di tangannya sangat cepat. Aku hanya bisa
menyelesaikan satu dua dalam satu menit. Ibu sudah lima anyaman ketupat.
“Ibu aku ingin lihat senja dengan gerimis yang berkilau.
Ketika aku berada dalam hujan. Rambut yang basah dengan panas yang menempa
rambutku.”
Ibu hanya berkata, “Teruskan kerjamu. Tek Dar sudah
menunggu pesanan anyaman ketupat untuk besok, 300 anyaman..” Aku hanya mampu
mengangguk. Aku ingin melihat hujan panas ketika sedang berada dalam gerimis
hujan. Tapi pada hujan aku belum sempat benar-benar memperkenalkan diriku.
Senja raya itu selesai sudah pekerjaan anyaman ketupat. Legah juga rasanya. Tapi
ada yang tak legah. Setelah kubuka pintu ternyata rinai hujan panas sudah
berhenti. Aku tak tahu kapan berhentinya.
“Ibu!”
“Iya.”
“Hujan panasnya sudah berhenti.”
“Ya sudah, main sana !”
Padahal aku ingin katakan. Aku ingin bermain rinai hujan
panas di tanah lapang rumah ini .tapi hujan panas keburu berhenti. Aku lelaki
tak beruntung dalam hujan. Tapi pada hujan ibu berpikiran aku lelaki yang
beruntung.
Sesudahnya datang kakak ibu yang tertua. Tek Ingkek. Ia
terburu-buru membuka pagar bambu di halaman. Tak sempat ia baca Assalaamualaikum
ia sudah berkata. Aku jadi heran sendiri kenapa terburu-buru.
“Di mana Ibumu?”
“Di dapur Tek.. Langsung sajalah etek ke dapur. Ibu
sedang memasak nasi dengan kayu api yang etek jemput ke rimba bersama ibu
kemaren.”
Etek langsung saja ke dapur. Karena memang sudah
kebiasaan orang kampung Karang Sadah. Kalaulah ia bersanak famili maka adik
atau kakaknya jugalah rumahnya sendiri. Seperti ibu dan Tek Ingkek. Tapi aku
menjadi heran kenapa dengan begitu cukup kasarnya ia masuk rumah ini. Buru-buru
ia panggil ibu sambil terus berlalu. “Siroh! Siroh Siroh,” katanya. Aku tak
begitu ambil peduli.
Aku ingin bermain hujan panas. Tapi hujan dan panas
begitu cepat berpisah. Aku katakan ke ibu aku kan pergi ke rumah si Ujang di ujung kampung.
Baru saja aku masuk pintu dapur, Ibu sedang tersedu. Kenapa ibu tersedu. Hanya
ada Tek Ingkek yang sedang memeluk adiknya. Dua perempuan berbau gardamunggu
yang sedang berpelukan. Tampak jelaslah galau wajah Ibu.
“Sabar Siroh. Inu bukan kehendak kita. Tuhan juga kan berkuasa pada diri
kita.” Itu perkataan Tek Ingkek. Ibu sadar aku sudah berada di pintu. Ibu
rangkul aku. Aku heran. Kenapa ibu lebih suka mengeluarkan air mata di Senja
Raya. Air mata ibu sangat deras. Sederas hujan panas yang mengalir di tuturan
atap, yang belum lama berhenti.
“Kenapa Ibu menangis?” ibu hanya diam. Ibu rangkul aku
erat-erata. Hampir saja aku kehilangan keseimbangan tubuhku. Ibu buat nafasku
sesak. Begitu harum bau kain kacik ibu, kain kacik yang dililit di kepala.
“Kenapa Ibu nangis? Hasan juga ingin nangis Ibu.” Ibu
malah tangisnya makin tersedu. Basah sudah pundak kecilku. Tek Ingkek hanya
terpaku duduk di sandaran kayu bakar beralas karung.
“Uni, begitu hiba aku melihat perasaian Hasan nanti. Ke mana
nasib hasan yang baru menempuk kelas 1 SD ini kan aku bawah? Telah putus gagang berpegang,”
kata Ibu ke Tek Ingkek. Aku jadi heran kenapa antara ibu dan Tek Ingkek. Ibu
dan Tek Ingkek buru-buru membawaku. Ibu biarkan saja pintu terbuka. Tek Ingkek yang
kemudian menutupnya. Aku telah lebih dahulu dibawa berlari ibu menyusuri jalan
setapak, jalan kampung ini. Kulihat Tek Ingkek mengejar dari belakang. Ibu terus berguguran
air mata. Aku terguncang-guncang di pelukannya. Setiap tiba jalan menanjak
kecil, jalan berbatu semakin hemat guncangan itu.
Barulah aku tahu tubuh ayah terbujur kaku di rumah Tek Ingkek.
Jasad yang tertutup kain coklat panjang. Ibu rangkul tubuh ayah. Hanya ada
gerak diam.
“Dia tadi menebang kayu pas pada saat hujan panas. Sudah
aku larang tapi ia masih tetap bersikeras. Katanya, ‘Tanggung Din’. Aku
katakan, ‘Nanti-nanti juga bisa. Katanya lagi, ‘Ini tinggal sekali libas
lagi dengan kapak ini’ Kapak berhenti
kayu jatuh. Ia tak sempat menghindar. Batang kayu kalek menjepit lehernya,”
kata Aliudin yang tersedu di ruang duka.“Aku yang salah! Seharusnya aku tarik
saja tangannya. Mau tak mau pasti juga dia kan tertolong. Tapi menyesal apalah guna.”
Aliudin terdiam. Tapi air mata tak dapat ia bendung.
Aku tak tahu kenapa
dengan kematian. Mati dan hidup entah seperti apa. Yang aku tahu sesudah
ini pasti lama ayah tak pulang-pulang. Aku juga tidak mengerti kenapa hujan
panas dengan kematian. Aku tak percaya kalaulah hujan panas datang menimpa,
bearti kematian kan
segera menyusul.
***
Kini perempuan kembali datang terburu-buru. Perempuan
tua dengan rambut putihnya yang basah. Kutu-kutu air yang menyatu dengan
rambutnya. Masih adakah kematian di senja-senja raya. Aku tak tahu kematian
sejenis apa. Ah, sudahlah. Tidak ada hubungan kematian dengan rinai hujan
panas.
Perempuan itu sudah berdiri di depan pintu. Kupandang
ujung senja masih pada rintik hujan yang sama. Aku teringiang kenangan tentang
cahaya yang tiba-tiba menghilang. Kini aku harus tanpa cahaya itu. Perempuan
mengetuk pintu. Perempuan itu Tek Ingkek.
Pernah juga aku dengar di lapau saat sedang membeli
goreng ubi barang sebuah. Aku tak sengaja menguntit perkataan ibu-ibu.
“Sungguh malang
benar nasib Darman. Masih muda sudah menjemput ajal,” ucap ibu Maimun.
“Benar Tek,” ujar Bando.
“Kabarnya dia mati ketika hujan-hujan panas siang tadi.
Dalam hujan panas ia masih saja mencangkul di ladang,” ujar Kasinar.
“Ia mati jam dua belas siang. Kita kan tahu jam dua belas tadi sedang hujan
panas,” ujar Ibu Maimun menimpali. Aku hanya terhenyak saja. Tertawa geli,
kadang juga bersedih dalam.
“Aku tadi dari rumahnya. Ia mendapat penyakit lalu––orang
yang penyakit ini kalau tidak cepat di tolong maka lebih dekat di matanya gerbang
kepergian.”
Apa hubungan kematian dengan rinai hujan panas. Suatu
hal yang sampai sekarang tidak saya mengerti. Aku percaya pendidikan yang aku
tempuh tidak mungkin salah. Ajal di tangan Tuhan. Kalau maut sudah datang maka
segala tempat adalah pintu kematian.
Aku pernah membaca kisah masalah mati. Kalaulah mati
datang menjemput, maka mati tidaklah dapat diundur barang sejenak, tidak pula
mati dapat dimajukan barang sesaat. Walau diri berada dalam benteng yang kuat,
kalaulah ajal datang maka benteng yang kuat adalah tempat kematian. Begitulah
yang sering kudengarkan di setiap pengajian. Begitu pula yang kudapatkan di
bangku perkuliahan ini.
“Kalaulah ada hujan panas, tanda ada yang akan mati,”
kata Bando.
“Kalaulah elang sudah berkoak, lengkaplah sudah segala
kejadian tentang kematian,” ujar Bando Lagi.
Dan kini masih senja raya dalam rinai hujan panas. Siapakah
yang mati? Ah, bodoh, mana bisa hujan panas dikaitkan dengan kematian. Hujan
tetap hujan. Panas tetap panas. Kematian tetap kematian. Kurasa ketiga bagian
saling terpisah. Sungguh bodoh orang yang mengaitkan mati dan hujan panas.
Perempuan itu mendorong pintu kuat-kuat. Dia berkata
“Ibumu! Ibumu! Ibu mu…! Ibumu di tengah ladang….”
Aku tak percaya ada hubungan hujan panas dengan kematian. Rinai-rinau hujan panas dan
kematian dua kutub yang berbeda. Satu kehidupan satu kepergian. Aku hanya terhenyak
mengingat bayang ibu.
***
Senja di lereng
gunung talang masih memecah gerimis hujan. Titik cahaya masih titik cahaya yang
dulu. Rumah ini masih rumah yang dahulu. Tapi ada yang tidak dahulu.
Lamanlaman angin
Rumahrumah hujan
Ruangruang kosong
Cerita rinai hujan panas usang
Dan ini aku ceritakan kepada siapa saja setelah
mendengar kematian dalam rinai hujan panas. Tiga tahun yang sudah jarang dari
tahun ini. Tiga tahun yang telah pula pergi. Aku katakan soal hujan panas
bukanlah soal kematian. Tapi soal kematian soal yang hinggap pada setiap batas
yang diberikan Tuhan.
Kini aku ke tanah lapang. Ke tengah rinai hujan panas
aku memandang langit senja di deretan lereng gunung Talang. Ada kuyub, ada basah. Aku terngiang kata ibu,
“Hasan jangan main ke tengah rinai hujan panas. Nanti kamu sakit Hasan.”*** Lingkarpadang,
10 Juli 209
saya suka sekali dengan cerpen karangan penulis-penulis asal sumbar. begitu dekat rasanya. cerita-cerita yang dituturkan seperti terjadi di lingkungan saya. begitu mengena. apakah cerpen-cerpen ini dibukukan? dimana bisa saya dapatkan kumpulan cerpen ini?
BalasHapuscerpennya menarik. membongkar mitos yang ada. tapi kematian selalu mengundang derai air mata.
BalasHapus