Click this!!!

Postingan Terbaru


Sabtu, 24 November 2012

Rinai-Rinai Hujan Panas

Cerpen Alizar Tanjung
Terbit di Haluan, 31 Januari 2010 

Ia datang kepadaku pas hujan-hujan sedang rinai di senja-senja raya.  Aku tak tahu kenapa ia begitu terburu-buru. Tak sempat ia tutup pagar bambu. Sesudahnya ia sudah saja tiba di halaman. Basah, kuyup, melekat di badan, begitulah gambarannya di senja raya.
Di senja rinai bercampur cahaya matahari. Orang menyebutnya hujan panas. Kebiasaan orang kampung Karang Sadah ini mengatakan, kalaulah hujan panas sedang merenda turun pasti sedang ada kemalangan. Orang lebih sering mengaitkan dengan kematian. Aku tidak begitu yakin dengan semua ocehan itu. Tapi begitulah yang selalu berdengung, entah alasan apa hujan panas seperti kejadian gaib saja di kampung Karang Sadah ini. Sudah sejak lama lagi. Bahkan sebelum aku lahir ke atas dunia ini, mengeak merasakan segala kefanaan, kepercayaan hujan panas dan kematian sudah ada.
Ibu pernah katakan, “Kalau hari sedang hujan panas, jangan kau bermain di luar ya Nak. Nanti kau sakit.” Sudah lama sekali kata itu terngiang. Tentu saja pada masa kanakku yang lugu. Yang aku tahu harus menurut. Maka aku turutkan saja perkataan ibu. Seharian aku tidak bermain keluar rumah. Aku duduk saja di dalam sambil membantu anyaman ketupat bersama ibu.
Aku tanyakan ke Ibu, “Kenapa gak boleh keluar Ibu. Aku ingin melihat hujan panas dengan garis-garis emas di senja raya dari atas bukit kampung ini. Saat itu aku bisa melihat kabut di atas kepalaku. Matahari di ujung barat bersebelahan dengan puncak gunung Talang.”
“Gak baik anak Ibu berkeliaran dalam hujan panas. Nanti anak Ibu benar-benar sakit.”
“Tapi, Bu, aku belum pernah bermain hujan panas. Kata Ibu kalau aku bermain hujan panas nanti aku sakit. Bu, kemarin si Ujang bermain hujan panas ia tidak sakit,” kataku merayu ibu serambi meletakkan anyaman ketupat dalam gayung hitam. Ibu tak banyak menanggapi pertanyaanku. Aku juga tidak bisa berbuat banyak. Anyaman di tangannya sangat cepat. Aku hanya bisa menyelesaikan satu dua dalam satu menit. Ibu sudah lima anyaman ketupat.
“Ibu aku ingin lihat senja dengan gerimis yang berkilau. Ketika aku berada dalam hujan. Rambut yang basah dengan panas yang menempa rambutku.”
Ibu hanya berkata, “Teruskan kerjamu. Tek Dar sudah menunggu pesanan anyaman ketupat untuk besok, 300 anyaman..” Aku hanya mampu mengangguk. Aku ingin melihat hujan panas ketika sedang berada dalam gerimis hujan. Tapi pada hujan aku belum sempat benar-benar memperkenalkan diriku. Senja raya itu selesai sudah pekerjaan anyaman ketupat. Legah juga rasanya. Tapi ada yang tak legah. Setelah kubuka pintu ternyata rinai hujan panas sudah berhenti. Aku tak tahu kapan berhentinya.
“Ibu!”
“Iya.”
“Hujan panasnya sudah berhenti.”
“Ya sudah, main sana!”
Padahal aku ingin katakan. Aku ingin bermain rinai hujan panas di tanah lapang rumah ini .tapi hujan panas keburu berhenti. Aku lelaki tak beruntung dalam hujan. Tapi pada hujan ibu berpikiran aku lelaki yang beruntung.
Sesudahnya datang kakak ibu yang tertua. Tek Ingkek. Ia terburu-buru membuka pagar bambu di halaman. Tak sempat ia baca Assalaamualaikum ia sudah berkata. Aku jadi heran sendiri kenapa terburu-buru.
“Di mana Ibumu?”
“Di dapur Tek.. Langsung sajalah etek ke dapur. Ibu sedang memasak nasi dengan kayu api yang etek jemput ke rimba bersama ibu kemaren.”
Etek langsung saja ke dapur. Karena memang sudah kebiasaan orang kampung Karang Sadah. Kalaulah ia bersanak famili maka adik atau kakaknya jugalah rumahnya sendiri. Seperti ibu dan Tek Ingkek. Tapi aku menjadi heran kenapa dengan begitu cukup kasarnya ia masuk rumah ini. Buru-buru ia panggil ibu sambil terus berlalu. “Siroh! Siroh Siroh,” katanya. Aku tak begitu ambil peduli.
Aku ingin bermain hujan panas. Tapi hujan dan panas begitu cepat berpisah. Aku katakan ke ibu aku kan pergi ke rumah si Ujang di ujung kampung. Baru saja aku masuk pintu dapur, Ibu sedang tersedu. Kenapa ibu tersedu. Hanya ada Tek Ingkek yang sedang memeluk adiknya. Dua perempuan berbau gardamunggu yang sedang berpelukan. Tampak jelaslah galau wajah Ibu.
“Sabar Siroh. Inu bukan kehendak kita. Tuhan juga kan berkuasa pada diri kita.” Itu perkataan Tek Ingkek. Ibu sadar aku sudah berada di pintu. Ibu rangkul aku. Aku heran. Kenapa ibu lebih suka mengeluarkan air mata di Senja Raya. Air mata ibu sangat deras. Sederas hujan panas yang mengalir di tuturan atap, yang belum lama berhenti.
“Kenapa Ibu menangis?” ibu hanya diam. Ibu rangkul aku erat-erata. Hampir saja aku kehilangan keseimbangan tubuhku. Ibu buat nafasku sesak. Begitu harum bau kain kacik ibu, kain kacik yang dililit di kepala.
“Kenapa Ibu nangis? Hasan juga ingin nangis Ibu.” Ibu malah tangisnya makin tersedu. Basah sudah pundak kecilku. Tek Ingkek hanya terpaku duduk di sandaran kayu bakar beralas karung.
“Uni, begitu hiba aku melihat perasaian Hasan nanti. Ke mana nasib hasan yang baru menempuk kelas 1 SD ini kan aku bawah? Telah putus gagang berpegang,” kata Ibu ke Tek Ingkek. Aku jadi heran kenapa antara ibu dan Tek Ingkek. Ibu dan Tek Ingkek buru-buru membawaku. Ibu biarkan saja pintu terbuka. Tek Ingkek yang kemudian menutupnya. Aku telah lebih dahulu dibawa berlari ibu menyusuri jalan setapak, jalan kampung ini. Kulihat Tek Ingkek  mengejar dari belakang. Ibu terus berguguran air mata. Aku terguncang-guncang di pelukannya. Setiap tiba jalan menanjak kecil, jalan berbatu semakin hemat guncangan itu.
Barulah aku tahu tubuh ayah terbujur kaku di rumah Tek Ingkek. Jasad yang tertutup kain coklat panjang. Ibu rangkul tubuh ayah. Hanya ada gerak diam.
“Dia tadi menebang kayu pas pada saat hujan panas. Sudah aku larang tapi ia masih tetap bersikeras. Katanya, ‘Tanggung Din’. Aku katakan, ‘Nanti-nanti juga bisa. Katanya lagi, ‘Ini tinggal sekali libas lagi  dengan kapak ini’ Kapak berhenti kayu jatuh. Ia tak sempat menghindar. Batang kayu kalek menjepit lehernya,” kata Aliudin yang tersedu di ruang duka.“Aku yang salah! Seharusnya aku tarik saja tangannya. Mau tak mau pasti juga dia kan tertolong. Tapi menyesal apalah guna.” Aliudin terdiam. Tapi air mata tak dapat ia bendung.
Aku tak tahu kenapa  dengan kematian. Mati dan hidup entah seperti apa. Yang aku tahu sesudah ini pasti lama ayah tak pulang-pulang. Aku juga tidak mengerti kenapa hujan panas dengan kematian. Aku tak percaya kalaulah hujan panas datang menimpa, bearti kematian kan segera menyusul. 
***
Kini perempuan kembali datang terburu-buru. Perempuan tua dengan rambut putihnya yang basah. Kutu-kutu air yang menyatu dengan rambutnya. Masih adakah kematian di senja-senja raya. Aku tak tahu kematian sejenis apa. Ah, sudahlah. Tidak ada hubungan kematian dengan rinai hujan panas.
Perempuan itu sudah berdiri di depan pintu. Kupandang ujung senja masih pada rintik hujan yang sama. Aku teringiang kenangan tentang cahaya yang tiba-tiba menghilang. Kini aku harus tanpa cahaya itu. Perempuan mengetuk pintu.  Perempuan itu Tek Ingkek.
Pernah juga aku dengar di lapau saat sedang membeli goreng ubi barang sebuah. Aku tak sengaja menguntit perkataan ibu-ibu.
“Sungguh malang benar nasib Darman. Masih muda sudah menjemput ajal,” ucap ibu Maimun.
“Benar Tek,” ujar Bando.
“Kabarnya dia mati ketika hujan-hujan panas siang tadi. Dalam hujan panas ia masih saja mencangkul di ladang,” ujar Kasinar.
“Ia mati jam dua belas siang. Kita kan tahu jam dua belas tadi sedang hujan panas,” ujar Ibu Maimun menimpali. Aku hanya terhenyak saja. Tertawa geli, kadang juga bersedih dalam.
“Aku tadi dari rumahnya. Ia mendapat penyakit lalu­­––orang yang penyakit ini kalau tidak cepat di tolong maka lebih dekat di matanya gerbang kepergian.”
Apa hubungan kematian dengan rinai hujan panas. Suatu hal yang sampai sekarang tidak saya mengerti. Aku percaya pendidikan yang aku tempuh tidak mungkin salah. Ajal di tangan Tuhan. Kalau maut sudah datang maka segala tempat adalah pintu kematian.
Aku pernah membaca kisah masalah mati. Kalaulah mati datang menjemput, maka mati tidaklah dapat diundur barang sejenak, tidak pula mati dapat dimajukan barang sesaat. Walau diri berada dalam benteng yang kuat, kalaulah ajal datang maka benteng yang kuat adalah tempat kematian. Begitulah yang sering kudengarkan di setiap pengajian. Begitu pula yang kudapatkan di bangku perkuliahan ini.
“Kalaulah ada hujan panas, tanda ada yang akan mati,” kata Bando.
“Kalaulah elang sudah berkoak, lengkaplah sudah segala kejadian tentang kematian,” ujar Bando Lagi.
Dan kini masih senja raya dalam rinai hujan panas. Siapakah yang mati? Ah, bodoh, mana bisa hujan panas dikaitkan dengan kematian. Hujan tetap hujan. Panas tetap panas. Kematian tetap kematian. Kurasa ketiga bagian saling terpisah. Sungguh bodoh orang yang mengaitkan mati dan hujan panas.
Perempuan itu mendorong pintu kuat-kuat. Dia berkata “Ibumu! Ibumu! Ibu mu…! Ibumu di tengah ladang….”
Aku tak percaya ada hubungan hujan panas  dengan kematian. Rinai-rinau hujan panas dan kematian dua kutub yang berbeda. Satu kehidupan satu kepergian. Aku hanya terhenyak mengingat bayang ibu.
***
            Senja di lereng gunung talang masih memecah gerimis hujan. Titik cahaya masih titik cahaya yang dulu. Rumah ini masih rumah yang dahulu. Tapi ada yang tidak dahulu.
Lamanlaman angin
Rumahrumah hujan
Ruangruang kosong
Cerita rinai hujan panas usang
Dan ini aku ceritakan kepada siapa saja setelah mendengar kematian dalam rinai hujan panas. Tiga tahun yang sudah jarang dari tahun ini. Tiga tahun yang telah pula pergi. Aku katakan soal hujan panas bukanlah soal kematian. Tapi soal kematian soal yang hinggap pada setiap batas yang diberikan Tuhan.
Kini aku ke tanah lapang. Ke tengah rinai hujan panas aku memandang langit senja di deretan lereng gunung Talang. Ada kuyub, ada basah. Aku terngiang kata ibu, “Hasan jangan main ke tengah rinai hujan panas. Nanti kamu sakit Hasan.”*** Lingkarpadang, 10 Juli 209

2 komentar:

  1. hairum fellayati2 Maret 2013 pukul 22.45

    saya suka sekali dengan cerpen karangan penulis-penulis asal sumbar. begitu dekat rasanya. cerita-cerita yang dituturkan seperti terjadi di lingkungan saya. begitu mengena. apakah cerpen-cerpen ini dibukukan? dimana bisa saya dapatkan kumpulan cerpen ini?

    BalasHapus
  2. cerpennya menarik. membongkar mitos yang ada. tapi kematian selalu mengundang derai air mata.

    BalasHapus

 
Copyright © 2011. FLP Sumbar: Rinai-Rinai Hujan Panas . All Rights Reserved
Template modify by Creating Website. Remodified by Aini