Panas masih membakar kota Padang,
kemacetan lalu lintas di Pasar Raya semakin membuat pencemaran udara meningkat, apalagi teriak para pedagang
pasar, tentu saja membuat orang-orang yang cinta kedamaian merindukan keheningan dan ketenangan. Namun, kepadatan
dan keriuhan pasar, tidak menyurutkan semangat para pemburu rezki, apalagi para
aktivis, meski harus mengerutkan dahi di setiap langkah yang mereka ayunkan.
Siang itu, tepatnya pukul 02.00 WIB, 6 Oktober 2013, dengan semangat penulis mengayunkan tangan melangkahkan kaki menempuh
perjalanan dari Lubuk Lintah menuju Taman Melati, demi menghadiri kegiatan dwimingguan
FLP Sumbar dalam rangka bedah
karya. Ketika penulis memasuki Taman Melati, ternyata salah seoarang dari
pengurus DPH, sekretaris FLP Sumbar Inne Syafrian Putri telah duduk manis menunggu kedatangan pengurus
FLP Sumbar yang lain.
Selang beberapa waktu, nampak mantan
Ketua FLP Sumbar, Siska
Oktavia bersama suami tercinta menuju lokasi yang kami tempati, selanjutnya
menyusul pengurus FLP Sumbar yang lain, bermodalkan karya masing-masing.
Setelah pengurus dan anggota FLP Sumbar, mulai dari cabang hingga wilayah, berkumpul sesuai dengan kesepakatan satu
minggu yang lalu, akhirnya
acara bedah karya dibuka oleh sekretaris FLP Sumbar Inne. Sengaja
karya pertama yang dibedah adalah karya mantan Bendahara Umum FLP Sumbar, Dewi
Kumala Sutra. Karya beliau berjudul, “Tiga Catatan Mahasiswi Melepas Masa
Lajang.” Menurut penulis cukup menginspirasi, agar mahasiswa benar-benar bisa mengatakan,
“Pacaran No! Menikah, Yes!” Namun tentu saja ada kritikan pedas dari Siska
Oktavia dan Muhammad Muhsin Lahajji (penulis novel Perjalanan Menuju Langit) terhadap
karya beliau. Mulai dari kritikan terhadap EYD, hingga kritikan terhadap rangkaian ceritanya. “Alangkah
lebih bagusnya jika salah satu kutipan cerita ini menceritakan sesuatu yang
beda, misalnya cerita cinta terlarang karna satu jenis (lesbian
atau homoseksual),” tutur Muhammad Muhsin Lahajji.
Selanjutnya karya Djo H.T Bagindo berjudul “Ning.” Menurut kabar yang penulis dengar, Djo ini
adalah salah seorang pengurus yang dituakan di FLP Sumbar. Selain berkiprah di
FLP Sumbar, beliau juga bekerja sebagai tenaga pengajar sastra di Pariaman. Karya beliau ini
lebih menceritakan kekhasan budaya Minangkabau, hingga latarnya tergambar begitu jelas. Namun tetap saja
dalam bedah karya FLP Sumbar, tidak ada yang namanya adem ayem, sudah dipastikan ada kritikan
pedas, “Pembantaian Karya!” istilah yang lebih akrab di kalangan para penulis
FLP Sumbar.
Usai salat Asar berjamaah di Musala Museum Aditya Warman, para pengurus
FLP Sumbar berkumpul kembali di lokasi semula. Dilanjutkan bedah karya, Desi
Soneta Sari berjudul, “Kain Sarung Bapak!” Penulis masih tergolong baru di FLP
Sumbar. Jadi, karyanya sudah dipastikan mendapat kritikan lebih tajam, tentu
saja selain berfungsi membangun unsur-unsur karyanya, juga berfungsi membangun
mental penulis, agar ke depannya lebih siap menghadapi kritikan karya yang
lebih tajam dari pada itu.
Mengingat waktu tidak lagi bersahabat, akhirnya dicukupkan karya terakhir dari Dody Saputra berupa
Puisi yang berjudul, “Mandeh; Teh Telur dan Jeruk Nipis!” Karyanya cukup membuat
penulis yang lain terkagum-kagum. Menurut kabar yang penulis dapat, karya-karya
beliau sudah banyak diterbitkan di media cetak, mulai dari lokal hingga nasional.
Akhirnya, karena
senja di Taman Melati sudah berpapasan
dengan gelap, acara bedah karya dwimingguan ditutup kembali oleh Inne dengan membacakan hamdalah. Penulis pun bubar satu per satu menuju rumah
masing-masing. (Desi Soneta)
Semoga FLP tetap mengemban misi da'wah...Tetap berkarya untuk negeri!!!
BalasHapus