Antologi Cerpen FLP Sumbar yang berjudul “Air Mata Sunyi” yang diterbitkan oleh AG Publishing pada Maret 2012 lalu.
Mayati nama
gadis itu. Seorang gadis kampung nelayan di sebuah pulau kecil tepian pesisir
Sumatera. Tinggal bersama ibu dan adik
laki-lakinya. Bapaknya dulu seorang nelayan, telah lama mati dibunuh orang tak
dikenal dua tahun lalu. Adik lelaki Mayati memilih merantau ke pulau Jawa,
menggantikan posisi Bapaknya sebagai kepala keluarga menafkahi mereka. Berhenti
di bangku kelas dua SMA dan pergi berlayar, sudah enam bulan lamanya.
Beruntung,
Bapak Mayati mewariskan sebuah kapal kecil yang biasa digunakan untuk
mengangkut warga antar pulau. Dibesarkan di keluarga nelayan sudah barang tentu
memaksa dirinya untuk menguasai ilmu perairan banyak sedikitnya. Selagi remaja,
bapaknya acapkali membawa serta dirinya pergi berlayar mengantar penumpang ke
Pulau Besar, begitu Mayati menyebut pulau Sumatera itu. Setelah bapaknya
meninggal, Mayati pun menggantikan beliau menjadi nahkoda dan mengoperasikan
kapal antar pulau. Ilmu agama yang ditanamkan oleh Bapak sejak kecil
mengajarkannya untuk tetap tegar dan sabar dalam menjalankan hidup.
Siang itu, selesai
melaksanakan sholat zuhur dekat dermaga Pulau Besar, Mayati kembali menuju tempat
dimana kapalnya yang tertambat. Sudah terbayang di pikirannya apa yang akan
dilakukan setiba di kapal. Biasanya dia akan menghidupkan mesin kapal dan
menyambut ramah para calon penumpangnya. Sesampainya di dermaga, Mayati melirik
ke dalam kapalnya dan mendapati seorang pemuda tengah duduk di dalamnya.
Penumpang pertamanya, pikir Mayati. Kedatangan Mayati membuat pemuda itu
terkejut dan bangkit dari duduknya.
“Assalammu’alaikum”
sapa pemuda itu. Mayati membalas salamnya biasa. Tanpa sadar mata Mayati
menyelidik pemuda itu dari atas ke bawah. Dari penampilannya, Mayati
menyimpulkan bahwa pemuda itu bukan penduduk asli Pulau Kecil. Pakaian yang
dikenakannya rapi, mukanya bersih dan buku bacaannya memberitahukan bahwa
pemuda itu pastilah seorang mahasiswa.
“Benarkah kapal
ini menuju ke Pulau Kecil?” tanya pemuda itu. Mayati mengangguk dan berlalu
melewati pemuda itu menuju ke dalam kapal. Pemuda itu tampak heran dengan sikap
Mayati. Seolah merasa telah berlaku tidak sopan, pemuda itu menghampiri Mayati
yang sedang sibuk memeriksa kapalnya untuk keberangkatan.
“Saya minta
maaf, nama saya Ilham. Saya mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Islam Pulau Besar
yang KKN di kampung pulau kecil. Kira-kira berapa lama lagi kapal ini
berangkatnya?”
Mayati
menghentikan pekerjaannya, dan menatap wajah pemuda itu. Dugaannya benar,
pemuda itu seorang mahasiswa. Tapi untuk apa dia datang ke Pulau Kecil? Tanya
Mayati dalam hati. Mayati tidak terlalu suka berbicara dengan penumpangnya. Ia
pikir Hal itu akan membuang waktu dan menghambat pekerjaannya. Sebagai seorang
Nahkoda kapal, Mayati harus memastikan kapal dan juga dirinya dalam keadaan
baik ketika berlayar. Mengejar waktu agar penumpangnya tidak kecewa karena
terlambat. Memperkirakan cuaca dan kondisi angin untuk memprediksi jadwal
keberangkatan. Tapi calon penumpang yang satu ini tampaknya belum tahu akan
aturan seperti itu.
Satu persatu
penumpang yang lain memasuki kapal miliknya dan mengisi tempat duduk yang
kosong. Mayati meninggalkan pemuda itu dan menyambut penumpangnya. Tapi pemuda
itu terus mengikutinya. Akhirnya Mayati berbalik menghadap pemuda itu yang
hampir saja menubruk Mayati karena berhenti tiba-tiba.
“Kapalnya akan
segera berangkat, kamu bisa kembali ke tempat dudukmu semula” jawab Mayati.
Mayati bersiap hendak menghidupkan mesin kapal ketika pemuda itu bertanya lagi.
“Siapa yang
mengemudikan kapal ini? Saya dari tadi tidak melihat satupun lelaki yang
menjadi nahkodanya” ujar pemuda itu lagi. Mayati mulai merasa jengkel.
“Apakah seorang
nahkoda haruslah seorang lelaki?” ujar Mayati tanpa berusaha untuk
menyembunyikan kejengkelannya. Pemuda itu terdiam, dua detik kemudian
terperangah tak percaya.
“Jadi… “ pemuda
itu tidak dapat melanjutkan kata-katanya. Ada
rasa malu sekaligus kagum menyelinap dalam hatinya melihat sosok gadis
dihadapannya.
“Dan jika kamu
tidak keberatan, tolong berikan saya waktu untuk menghidupkan mesin kapal dan kita
akan segera berangkat. Atau kamu akan terus mewawancaraiku seharian dan membuat
penumpangku mengamuk dan- lebih buruk lagi kabur ke kapal yang lain”
“Baiklah”
pemuda itu mengangguk setuju dan tersenyum pada Mayati. Dasar anak kota !
batin Mayati. Mayati menghidupkan mesin kapal dan menyapu pandangannya ke sudut
kapalnya yang sudah penuh oleh penumpangnya. Mayati menyampingkan ujung
jilbabnya ke bahu dan melepaskan tambat kapalnya dari dermaga. Tak lupa membaca
bismillah, semoga Allah melindungi perjalanannya hingga sampai kepulau kecil.
Pemuda itu kembali bersikap tenang dan menenggelamkan dirinya dalam buku bacaan
dalam genggamannya.
Mayati tidak
menyadari, bahwa sepasang mata milik pemuda itu sesekali mengawasi
gerak-geriknya karena tak dapat menahan rasa kagumnya terhadap seorang gadis
bernama Mayati. Deru mesin kapal bergemuruh bersama bunyi riak air laut
mengiringi perjalanan kembali ke pulau.
@@@
Akhirnya Mayati
mengetahui bahwa pemuda bernama Ilham itu diundang oleh Pak Karto, Kepala
Jorong untuk memberikan penyuluhan di kampung kecilnya. Ilham juga sering
mengisi ceramah di mesjid satu-satunya yang ada. Setiap sore, pemuda itu akan
datang ke mesjid untuk mengajarkan bocah-bocah sekitar mengaji. Malamnya, dia
akan memberikan wirid dan tausiyah untuk para Ibu. Dalam waktu kurang lebih
sebulan, semua warga di kampung sudah akrab dengannya.
Semua warga
sangat menyukai pemuda itu. Dia pintar dan juga ramah. Tak segan-segan membantu
untuk acara apapun yang diadakan di kampung. Mayati sedikit jengah tatkala
Ibunya selalu memuji-muji pemuda itu di depannya tentang betapa bagusnya pemuda
itu untuk dijadikan menantu para ibu di kampungnya. Mengingat pertemuan pertama
yang menjengkelkan waktu itu, wajar kalo respon Mayati yang acuh membuat ibunya
heran. Mayati tidak pernah bercerita pada Ibunya bahwa dia sudah pernah bertemu
dengan pemuda itu sebelumnya.
Ibu tak pernah
tahu bahwa Mayati tidak suka dengan seorang Mubalig. Hal itu hanya akan
mengingatkan pada peristiwa beberapa tahun lalu yang menimpa Ayahnya. Ayahnya
juga seorang Mubalig yang acapkali mengisi tausiyah di Mesjid Pulau Kecil.
Mengajak warga menuju perniagaan yang halal. Berusaha saling bantu sesama
nelayan tanpa mengandalkan tengkulak. Ternyata himbauan Ayah kepada warga telah
menyulut amarah para tengkulak ikan. Menyuruh Ayah untuk tidak turut campur
masalah perniagaan dan menarik kembali kata-katanya. Ayah menolak untuk mengabulkan permintaan para
tengkulak. Esok pagi Ayah sudah ditemukan mati di tepi pantai, dibunuh, tanpa
seorang pun saksi mata.
Suatu malam di
hari jum’at, Mayati tanpa sengaja mendengar pembicaraan para pemuda kampong di
warung kopi Bu Sumi. Mereka semua adalah nelayan sekaligus preman kampong yang
selalu membuat onar.
“Sok-sok ceramah pula tentang sholat, Emakku
saja tak pernah sibuk suruh-suruh aku untuk sholat. Eh, dia masih bau kencur!
Sudah berani perintah-perintah kita untuk sholat” tambah Bang Kunjo penuh
emosi. Semuanya berseru setuju.
“Malam ini,
seorang lagi pecundang akan mati konyol,” ujar Bang Kunjo yang bertubuh kekar
dan bertato di lengannya. Semua orang di warung itu tertawa cemooh mendengar
ucapan Bang Kunjo.
“Hei Kunjo! Apa
rencana kau untuk bocah ingusan itu?” tanya lelaki kurus keling dengan codet di
pipi kirinya.
“Kita fitnah
dia, itu lebih efisien. Kita tidak perlu turun tangan langsung seperti yang
kita lakukan pada bandot tua, bapaknya gadis tengik Mayati itu”. Kunjo
menghisap rokoknya dalam-dalam dan kepulan asap abu-abu keluar dari dua lubang
hidungnya besar.
“Bagaimana
caranya?” tanya yang seorang lagi. “Semua sudah beres, sebentar lagi bocah itu
akan diarak dan dirajam keliling kampung”. Kunjo tertawa jahat, semua orang di
warung kopi ikut-ikutan tertawa bersamanya.
Tubuh Mayati
bergetar hebat. Jemarinya meremas ujung jilbab pemberian ayahnya dengan erat.
Marah. Sakit hati. Bola matanya terasa panas. Ternyata mereka-lah yang telah
membunuh Ayahnya. Sekarang mereka akan mencelakai Ilham. Ah, apa peduli dia
pada anak kota
itu. Yang jelas sekarang pembunuh itu ada di depan matanya. Haruskah ia
melaporkan kepada Pak Karto pengakuan si Kunjo? Tapi kejadian itu sudah lama
dan ia tak punya bukti. Meskipun panca inderanya sendiri yang menjadi saksi,
tapi itu tak cukup kuat.
Mayati masih
terpaku bimbang di balik pohon tersembunyi dari pandangan. Mata hatinya berdebat
hebat. Wajah dan bayangan Ayahnya berkelebat. Kata-kata Ayah yang penuh nasihat
menggema di telinganya.
“Kau muslimah, kenakanlah jilbabmu nak… Kaum muslimin itu
ibarat sebatang tubuh. Jika satu bagian tersakiti, maka bagian yang lain pun
akan ikut merasakan sakit… Nyawa saudara sesama muslim itu sama berharganya
dengan nyawa kita sendiri… rasa dendam itu hanya akan membutakan hati…”
“Sial!” desis
Mayati. Ia berlari sekencang-kencangnya setelah mengusap airmatanya. Berlari
menuju gubuk kecil tempat Ilham tinggal. Ternyata disana sudah banyak orang
yang berkerumun. Semua berteriak, menghina, dan menghujat sosok yang ada di
depan gubuk. Mayati sekuat tenaga menerobos kerumunan itu untuk mengetahui apa
yang terjadi.
Ilham terduduk
di samping pintu menutupi kepalanya yang berlumuran darah terkena lemparan batu
warga yang marah. Kemeja putihnya tampak lusuh. Pak Karto berada di depan
menengahi dan menenangkan warga yang sedang marah. Di sebelahnya berdiri Mirna
dalam pelukan Ibu Mayati. Pakaiannya yang transparan tampak sobek di beberapa
tempat. Wajahnya merah, menangis dan ketakutan. Mayati heran melihat Ibunya
berada disana, meragukan Ibunya percaya akan semua omong kosong ini. Mengingat
semua pujian yang banyak dilontarkan olehnya tentang Ilham.
“Semuanya tenang!
Tidak boleh ada yang main hakim sendiri” tegas Pak Karto.
“Tidak perlu
buang waktu lagi, Pak. Kita arak saja mereka keliling kampung. Dia sudah menipu
kita semua. Sok alim, tapi bernafsu bejat!” ujar salah satu warga. Yang lain
ikut-ikutan berseru setuju. Pak Karto berusahan tetap mengendalikan situasi dan
tampak mulai kewalahan.
Mayati geram.
Ayolah! Semua juga tahu siapa Mirna. Dia bukan perempuan baik-baik. Dia adalah
wanita malam yang acapkali melayani para tengkulak dan preman-preman kampung di
gubuk remang-remang tepi pantai. Kenapa mereka semua dibutakan oleh amarah?. Si
kunjo benar-benar kurang ajar. Biadab!
Mayati berlari
ke depan kerumunan. Semua menatap ke arahnya. Mata Mayati bertemu dengan mata
Ilham yang seolah memberitahu dirinya bahwa semua ini tidak benar. Mayati
merasa iba pada pemuda itu. Entah perasaan apa yang merasuk ke dalam hatinya.
Mayati membantu pemuda itu berdiri, dan melihat sesuatu yang ganjil yang
terdapat di tubuh Ilham. Akhirnya Mayati menemukan sesuatu yang bisa menyelamatkan
pemuda itu.
“Bapak-bapak,
Ibu-ibu. Ini semua tidak benar, Ilham hanya difitnah”, ujar Mayati. Semua warga
saling berpandangan satu sama lain.
“Fitnah apa
maksudmu? Jelas-jelas bocah tengik itu sudah berzina dengan Mirna di dalam
gubuknya. Kamu tidak perlu membelanya lagi”, hardik seorang warga.
“Ilham tidak
pernah berbuat apapun terhadap Mirna. Mirna-lah yang menggodanya. Semua ini
hanya rekayasa si Kunjo. Jika tidak percaya, kalian semua tanyakan sendiri pada
si Kunjo dan Mirna”, balas Mayati lagi. Semua warga menatap ke arah Mirna yang
masih sesenggukkan menahan tangis. Bukannya menjawab, dia malah menggeleng
kemudian tangisnya semakin menjadi. Mayati tahu, tangis Mirna hanya dibuat-buat
untuk menarik simpati warga.
“Baiklah, jika
bapak dan Ibu masih butuh bukti. Ada .”
Mayati memutar badan ilham sehingga membelakangi warga. Kemeja bagian
punggungnya tercabik dengan potongan memanjang.
“Jika Ilham
berusaha untuk memperkosa Mirna bukankah seharusnya kemeja bagian depan-lah
yang sobek, karena Mirna pasti akan berusaha sekuat tenaga untuk melawan
mempertahankan kehormatannya. Tapi kemeja Ilham sobek di bagian belakang, dan
itu berarti Mirna-lah yang menggoda Ilham. Ketika Ilham menolak dan berusaha
lari, Mirna menariknya dari belakang dan kemejanya sobek”
“Mana ada
kejadian seperti itu!” protes seorang Ibu.
“Satu lagi
bukti bahwa Ilham tidak bersalah,” Mayati melangkah menuju pintu. Engsel pintu
itu tampak rusak. Gagang pengunci pintu ada yang terlepas. Semua warga
mempertahankan.
“Engsel pintu
ini rusak, karena pintu terkunci dari dalam. Seseorang berusaha membuka paksa
sehingga menyebabkan gagang pengunci pintu terlepas. Butuh kekuatan yang besar
agar bisa merusak pintu sampai begini. Dan semua bisa menilai, Mirna tidak
mungkin mampu melakukannya.”
Mirna berhenti
menangis dan melepaskan diri dari pelukan Ibu Mayati.
“Tidak, itu
tidak benar. Semua hanya bualan gadis tengik ini. Akulah yang jadi korbannya”,
rengek Mirna.
“Berhenti
berbohong, Mir! Jika aku boleh mengatakan, kunci pintu ini pasti masih ada di tubuhmu.
Kau menyembunyikannya di dalam pakaianmu. Oleh sebab itulah, Ilham lebih baik
merusak pintu daripada menyentuhmu”
Mirna berjalan
mundur. Wajahnya pucat pasi, panik. Ia tahu bahwa dirinya sudah terpojok. Baru
saja berpikir untuk lari, tiba-tiba sebuah benda jatuh dan menimbulkan bunyi
berdenting. Semua terperangah. Sebuah kunci jatuh di dekat kaki Mirna. Baru dua
langkah diambilnya, dua orang warga sudah mencengkram erat lengannya. Mirna
meronta-ronta, memohon untuk dilepaskan. Setelah minta-maaf atas
kesalahpahaman, semua warga pergi menuju rumah Pak Karto. Menuntut alasan
perbuatan Mirna dan mencari tahu siapa saja yang berada di balik kejadian ini.
Setelah itu barulah warga akan menyerahkannya pada pihak yang berwajib untuk
penerimaan hukuman.
Kini tinggal
mereka bertiga di gubuk itu. Mayati, Ibunya dan Ilham. Darah masih tampak
mengalir di pelipis Ilham. Ilham seperti akan mengatakan sesuatu padanya, tapi
Mayati mengabaikannya dan berlari ke dalam rumah. Mayati berkeliling,
mencari-cari sebuah tas dan memasukkan beberapa potong pakaian yang ia temukan
di dalam kamar Ilham. Beberapa menit kemudian ia keluar dari dalam gubuk.
Mencium tangan Ibunya.
“Ibu, aku akan
segera kembali. Jika orang bertanya, jangan katakan apapun. Sudah tidak ada
waktu lagi.” Ibu menatap wajah Mayati, bingung.
“Kamu masih
bisa berjalan kan ?
Ayo!” Mayati menarik lengan Ilham. Tanpa banyak bertanya, saat ini memang ia
tak punya pilihan selain mengikuti saran Mayati. Mereka berdua berlari dalam
kegelapan. Menelusuri jalan setapak dan gang-gang rumah warga. Lima menit kemudian mereka berdua sudah
berada di tepi pantai. Mayati menajamkan pandangannya mencari tempat dimana
kapalnya tertambat.
“Terima kasih
sudah menolongku,”ujar Ilham lemah.
“Tidak perlu.
Kalau kamu tadi tidak memberitahku bahwa Mirna menyembunyikan kuncinya, aku
juga tidak tahu bagaimana cara agar bias menolongmu. Jadi jangan berterima
kasih padaku,” jawab Mirna sekenanya.
“Apa yang
sedang kamu lakukan?” tanya Ilham lagi. Mayati mempercepat langkahnya karena ia
telah menemukan kapalnya. Ilham tertatih mengikuti langkah kaki Mayati sambil
menahan sakit di kepalanya.
“Aku akan
membawamu pergi dari tempat ini secepatnya.” Mayati melepaskan tali yang
menghubungkan kapal dengan dermaga.
“Kenapa aku
harus pergi? Bukankah masalahnya sudah selesai?” tanya Ilham lagi. Mayati hanya
diam. Ia melemparkan tas berisi barang-barang milik Ilham ke atas kapal.
Kemudian ia berbalik dan mendorong Ilham naik ke atas kapal. Kapal mulai
bergerak pelan karena tali jangkar sudah terlepas.
Dengan gesit
dan cepat, Mayati menghidupkan mesin kapal dan mereka pun berlayar. Mayati
terhenyak di salah satu kursi penumpang dengan nafas tersengal-sengal.
“Kamu belum
menjawab pertanyaanku,” tuntut Ilham. Setelah nafasnya kembali normal, Mayati
bangkit dan berdiri di depan Ilham. “Apa kau ingin mati konyol?! Mirna pasti
akan mengatakan yang sebenarnya. Si Kunjo tidak akan melepaskanmu karena
rencananya sudah terbongkar di depan semua warga. Meskipun kau bebas dari
amukan warga, tapi Kunjo dan teman-temannya tetap akan mencarimu dan
membunuhmu” jelas Mayati dengan segenap emosi.
“Apa?!”, ujar
Ilham terkejut.
“Apa kau tahu,
kenapa aku sejak dari awal tidak menyukaimu? Itu karena kau seorang Mubalig.
Beberapa tahun yang lalu juga ada orang sepertimu yang sempat memberikan
pencerahan dan hidayah kepada warga setempat. Ada beberapa oknum yang merasa tidak senang
dan merencanakan perbuatan jahat untuk mencelakainya. Hanya karena ia tidak
bisa diajak kerjasama.” Mayati mengambil nafas dan berusaha setenang mungkin.
“Mereka
membunuhnya di tepi pantai. Malam ini aku baru tahu, bahwa orang yang membunuh
mubalig itu juga orang yang merekayasa kejadian malam ini. Bukan tidak mungkin,
ia akan melakukan hal yang sama padamu, karena tidak berhasil membuatmu pergi
dari sini.”
“Tapi aku tidak
takut pada mereka” potong Ilham.
“Simpan saja
keberanianmu sampai situasi mereda, dan mereka mendapatkan hukumannya. Kau
boleh kembali lagi jika kau masih punya nyawa setelah malam ini” jelas Mayati.
Ilham terdiam, berpikir merenungi pilihan yang ia punya sekarang.
“Tapi… mubalig
yang kau maksudkan itu siapa?”tanya Ilham.
Mayati
merasakan bola matanya terasa panas. Ia berpaling menatap laut hitam yang luas.
Tak ada bintang. Angin laut berhembus memainkan ujung jilbabnya.
“Dia adalah
pemilik kapal ini, Ayahku…”
= Selesai =
Tidak ada komentar:
Posting Komentar