Click this!!!

Postingan Terbaru


Rabu, 05 Desember 2012

Mayati

Oleh : Syerli Yenita
Antologi Cerpen FLP Sumbar yang berjudul “Air Mata Sunyi” yang diterbitkan oleh AG Publishing pada Maret 2012 lalu.

Mayati nama gadis itu. Seorang gadis kampung nelayan di sebuah pulau kecil tepian pesisir Sumatera.  Tinggal bersama ibu dan adik laki-lakinya. Bapaknya dulu seorang nelayan, telah lama mati dibunuh orang tak dikenal dua tahun lalu. Adik lelaki Mayati memilih merantau ke pulau Jawa, menggantikan posisi Bapaknya sebagai kepala keluarga menafkahi mereka. Berhenti di bangku kelas dua SMA dan pergi berlayar, sudah enam bulan lamanya.
Beruntung, Bapak Mayati mewariskan sebuah kapal kecil yang biasa digunakan untuk mengangkut warga antar pulau. Dibesarkan di keluarga nelayan sudah barang tentu memaksa dirinya untuk menguasai ilmu perairan banyak sedikitnya. Selagi remaja, bapaknya acapkali membawa serta dirinya pergi berlayar mengantar penumpang ke Pulau Besar, begitu Mayati menyebut pulau Sumatera itu. Setelah bapaknya meninggal, Mayati pun menggantikan beliau menjadi nahkoda dan mengoperasikan kapal antar pulau. Ilmu agama yang ditanamkan oleh Bapak sejak kecil mengajarkannya untuk tetap tegar dan sabar dalam menjalankan hidup.
Siang itu, selesai melaksanakan sholat zuhur dekat dermaga Pulau Besar, Mayati kembali menuju tempat dimana kapalnya yang tertambat. Sudah terbayang di pikirannya apa yang akan dilakukan setiba di kapal. Biasanya dia akan menghidupkan mesin kapal dan menyambut ramah para calon penumpangnya. Sesampainya di dermaga, Mayati melirik ke dalam kapalnya dan mendapati seorang pemuda tengah duduk di dalamnya. Penumpang pertamanya, pikir Mayati. Kedatangan Mayati membuat pemuda itu terkejut dan bangkit dari duduknya.
“Assalammu’alaikum” sapa pemuda itu. Mayati membalas salamnya biasa. Tanpa sadar mata Mayati menyelidik pemuda itu dari atas ke bawah. Dari penampilannya, Mayati menyimpulkan bahwa pemuda itu bukan penduduk asli Pulau Kecil. Pakaian yang dikenakannya rapi, mukanya bersih dan buku bacaannya memberitahukan bahwa pemuda itu pastilah seorang mahasiswa.
“Benarkah kapal ini menuju ke Pulau Kecil?” tanya pemuda itu. Mayati mengangguk dan berlalu melewati pemuda itu menuju ke dalam kapal. Pemuda itu tampak heran dengan sikap Mayati. Seolah merasa telah berlaku tidak sopan, pemuda itu menghampiri Mayati yang sedang sibuk memeriksa kapalnya untuk keberangkatan.
“Saya minta maaf, nama saya Ilham. Saya mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Islam Pulau Besar yang KKN di kampung pulau kecil. Kira-kira berapa lama lagi kapal ini berangkatnya?”
Mayati menghentikan pekerjaannya, dan menatap wajah pemuda itu. Dugaannya benar, pemuda itu seorang mahasiswa. Tapi untuk apa dia datang ke Pulau Kecil? Tanya Mayati dalam hati. Mayati tidak terlalu suka berbicara dengan penumpangnya. Ia pikir Hal itu akan membuang waktu dan menghambat pekerjaannya. Sebagai seorang Nahkoda kapal, Mayati harus memastikan kapal dan juga dirinya dalam keadaan baik ketika berlayar. Mengejar waktu agar penumpangnya tidak kecewa karena terlambat. Memperkirakan cuaca dan kondisi angin untuk memprediksi jadwal keberangkatan. Tapi calon penumpang yang satu ini tampaknya belum tahu akan aturan seperti itu.
Satu persatu penumpang yang lain memasuki kapal miliknya dan mengisi tempat duduk yang kosong. Mayati meninggalkan pemuda itu dan menyambut penumpangnya. Tapi pemuda itu terus mengikutinya. Akhirnya Mayati berbalik menghadap pemuda itu yang hampir saja menubruk Mayati karena berhenti tiba-tiba.
“Kapalnya akan segera berangkat, kamu bisa kembali ke tempat dudukmu semula” jawab Mayati. Mayati bersiap hendak menghidupkan mesin kapal ketika pemuda itu bertanya lagi.
“Siapa yang mengemudikan kapal ini? Saya dari tadi tidak melihat satupun lelaki yang menjadi nahkodanya” ujar pemuda itu lagi. Mayati mulai merasa jengkel.
“Apakah seorang nahkoda haruslah seorang lelaki?” ujar Mayati tanpa berusaha untuk menyembunyikan kejengkelannya. Pemuda itu terdiam, dua detik kemudian terperangah tak percaya.
“Jadi… “ pemuda itu tidak dapat melanjutkan kata-katanya. Ada rasa malu sekaligus kagum menyelinap dalam hatinya melihat sosok gadis dihadapannya.
“Dan jika kamu tidak keberatan, tolong berikan saya waktu untuk menghidupkan mesin kapal dan kita akan segera berangkat. Atau kamu akan terus mewawancaraiku seharian dan membuat penumpangku mengamuk dan- lebih buruk lagi kabur ke kapal yang lain”
“Baiklah” pemuda itu mengangguk setuju dan tersenyum pada Mayati. Dasar anak kota! batin Mayati. Mayati menghidupkan mesin kapal dan menyapu pandangannya ke sudut kapalnya yang sudah penuh oleh penumpangnya. Mayati menyampingkan ujung jilbabnya ke bahu dan melepaskan tambat kapalnya dari dermaga. Tak lupa membaca bismillah, semoga Allah melindungi perjalanannya hingga sampai kepulau kecil. Pemuda itu kembali bersikap tenang dan menenggelamkan dirinya dalam buku bacaan dalam genggamannya.
Mayati tidak menyadari, bahwa sepasang mata milik pemuda itu sesekali mengawasi gerak-geriknya karena tak dapat menahan rasa kagumnya terhadap seorang gadis bernama Mayati. Deru mesin kapal bergemuruh bersama bunyi riak air laut mengiringi perjalanan kembali ke pulau.
@@@
Akhirnya Mayati mengetahui bahwa pemuda bernama Ilham itu diundang oleh Pak Karto, Kepala Jorong untuk memberikan penyuluhan di kampung kecilnya. Ilham juga sering mengisi ceramah di mesjid satu-satunya yang ada. Setiap sore, pemuda itu akan datang ke mesjid untuk mengajarkan bocah-bocah sekitar mengaji. Malamnya, dia akan memberikan wirid dan tausiyah untuk para Ibu. Dalam waktu kurang lebih sebulan, semua warga di kampung sudah akrab dengannya.
Semua warga sangat menyukai pemuda itu. Dia pintar dan juga ramah. Tak segan-segan membantu untuk acara apapun yang diadakan di kampung. Mayati sedikit jengah tatkala Ibunya selalu memuji-muji pemuda itu di depannya tentang betapa bagusnya pemuda itu untuk dijadikan menantu para ibu di kampungnya. Mengingat pertemuan pertama yang menjengkelkan waktu itu, wajar kalo respon Mayati yang acuh membuat ibunya heran. Mayati tidak pernah bercerita pada Ibunya bahwa dia sudah pernah bertemu dengan pemuda itu sebelumnya.
Ibu tak pernah tahu bahwa Mayati tidak suka dengan seorang Mubalig. Hal itu hanya akan mengingatkan pada peristiwa beberapa tahun lalu yang menimpa Ayahnya. Ayahnya juga seorang Mubalig yang acapkali mengisi tausiyah di Mesjid Pulau Kecil. Mengajak warga menuju perniagaan yang halal. Berusaha saling bantu sesama nelayan tanpa mengandalkan tengkulak. Ternyata himbauan Ayah kepada warga telah menyulut amarah para tengkulak ikan. Menyuruh Ayah untuk tidak turut campur masalah perniagaan dan menarik kembali kata-katanya. Ayah  menolak untuk mengabulkan permintaan para tengkulak. Esok pagi Ayah sudah ditemukan mati di tepi pantai, dibunuh, tanpa seorang pun saksi mata.
Suatu malam di hari jum’at, Mayati tanpa sengaja mendengar pembicaraan para pemuda kampong di warung kopi Bu Sumi. Mereka semua adalah nelayan sekaligus preman kampong yang selalu membuat onar.
 “Sok-sok ceramah pula tentang sholat, Emakku saja tak pernah sibuk suruh-suruh aku untuk sholat. Eh, dia masih bau kencur! Sudah berani perintah-perintah kita untuk sholat” tambah Bang Kunjo penuh emosi. Semuanya berseru setuju.
“Malam ini, seorang lagi pecundang akan mati konyol,” ujar Bang Kunjo yang bertubuh kekar dan bertato di lengannya. Semua orang di warung itu tertawa cemooh mendengar ucapan Bang Kunjo.
“Hei Kunjo! Apa rencana kau untuk bocah ingusan itu?” tanya lelaki kurus keling dengan codet di pipi kirinya.
“Kita fitnah dia, itu lebih efisien. Kita tidak perlu turun tangan langsung seperti yang kita lakukan pada bandot tua, bapaknya gadis tengik Mayati itu”. Kunjo menghisap rokoknya dalam-dalam dan kepulan asap abu-abu keluar dari dua lubang hidungnya besar.
“Bagaimana caranya?” tanya yang seorang lagi. “Semua sudah beres, sebentar lagi bocah itu akan diarak dan dirajam keliling kampung”. Kunjo tertawa jahat, semua orang di warung kopi ikut-ikutan tertawa bersamanya.
Tubuh Mayati bergetar hebat. Jemarinya meremas ujung jilbab pemberian ayahnya dengan erat. Marah. Sakit hati. Bola matanya terasa panas. Ternyata mereka-lah yang telah membunuh Ayahnya. Sekarang mereka akan mencelakai Ilham. Ah, apa peduli dia pada anak kota itu. Yang jelas sekarang pembunuh itu ada di depan matanya. Haruskah ia melaporkan kepada Pak Karto pengakuan si Kunjo? Tapi kejadian itu sudah lama dan ia tak punya bukti. Meskipun panca inderanya sendiri yang menjadi saksi, tapi itu tak cukup kuat.
Mayati masih terpaku bimbang di balik pohon tersembunyi dari pandangan. Mata hatinya berdebat hebat. Wajah dan bayangan Ayahnya berkelebat. Kata-kata Ayah yang penuh nasihat menggema di telinganya.
“Kau muslimah, kenakanlah jilbabmu nak… Kaum muslimin itu ibarat sebatang tubuh. Jika satu bagian tersakiti, maka bagian yang lain pun akan ikut merasakan sakit… Nyawa saudara sesama muslim itu sama berharganya dengan nyawa kita sendiri… rasa dendam itu hanya akan membutakan hati…”
“Sial!” desis Mayati. Ia berlari sekencang-kencangnya setelah mengusap airmatanya. Berlari menuju gubuk kecil tempat Ilham tinggal. Ternyata disana sudah banyak orang yang berkerumun. Semua berteriak, menghina, dan menghujat sosok yang ada di depan gubuk. Mayati sekuat tenaga menerobos kerumunan itu untuk mengetahui apa yang terjadi.
Ilham terduduk di samping pintu menutupi kepalanya yang berlumuran darah terkena lemparan batu warga yang marah. Kemeja putihnya tampak lusuh. Pak Karto berada di depan menengahi dan menenangkan warga yang sedang marah. Di sebelahnya berdiri Mirna dalam pelukan Ibu Mayati. Pakaiannya yang transparan tampak sobek di beberapa tempat. Wajahnya merah, menangis dan ketakutan. Mayati heran melihat Ibunya berada disana, meragukan Ibunya percaya akan semua omong kosong ini. Mengingat semua pujian yang banyak dilontarkan olehnya tentang Ilham.
“Semuanya tenang! Tidak boleh ada yang main hakim sendiri” tegas Pak Karto.
“Tidak perlu buang waktu lagi, Pak. Kita arak saja mereka keliling kampung. Dia sudah menipu kita semua. Sok alim, tapi bernafsu bejat!” ujar salah satu warga. Yang lain ikut-ikutan berseru setuju. Pak Karto berusahan tetap mengendalikan situasi dan tampak mulai kewalahan.
Mayati geram. Ayolah! Semua juga tahu siapa Mirna. Dia bukan perempuan baik-baik. Dia adalah wanita malam yang acapkali melayani para tengkulak dan preman-preman kampung di gubuk remang-remang tepi pantai. Kenapa mereka semua dibutakan oleh amarah?. Si kunjo benar-benar kurang ajar. Biadab!
Mayati berlari ke depan kerumunan. Semua menatap ke arahnya. Mata Mayati bertemu dengan mata Ilham yang seolah memberitahu dirinya bahwa semua ini tidak benar. Mayati merasa iba pada pemuda itu. Entah perasaan apa yang merasuk ke dalam hatinya. Mayati membantu pemuda itu berdiri, dan melihat sesuatu yang ganjil yang terdapat di tubuh Ilham. Akhirnya Mayati menemukan sesuatu yang bisa menyelamatkan pemuda itu.
“Bapak-bapak, Ibu-ibu. Ini semua tidak benar, Ilham hanya difitnah”, ujar Mayati. Semua warga saling berpandangan satu sama lain.
“Fitnah apa maksudmu? Jelas-jelas bocah tengik itu sudah berzina dengan Mirna di dalam gubuknya. Kamu tidak perlu membelanya lagi”, hardik seorang warga.
“Ilham tidak pernah berbuat apapun terhadap Mirna. Mirna-lah yang menggodanya. Semua ini hanya rekayasa si Kunjo. Jika tidak percaya, kalian semua tanyakan sendiri pada si Kunjo dan Mirna”, balas Mayati lagi. Semua warga menatap ke arah Mirna yang masih sesenggukkan menahan tangis. Bukannya menjawab, dia malah menggeleng kemudian tangisnya semakin menjadi. Mayati tahu, tangis Mirna hanya dibuat-buat untuk menarik simpati warga.
“Baiklah, jika bapak dan Ibu masih butuh bukti. Ada.” Mayati memutar badan ilham sehingga membelakangi warga. Kemeja bagian punggungnya tercabik dengan potongan memanjang.
“Jika Ilham berusaha untuk memperkosa Mirna bukankah seharusnya kemeja bagian depan-lah yang sobek, karena Mirna pasti akan berusaha sekuat tenaga untuk melawan mempertahankan kehormatannya. Tapi kemeja Ilham sobek di bagian belakang, dan itu berarti Mirna-lah yang menggoda Ilham. Ketika Ilham menolak dan berusaha lari, Mirna menariknya dari belakang dan kemejanya sobek”
“Mana ada kejadian seperti itu!” protes seorang Ibu.
“Satu lagi bukti bahwa Ilham tidak bersalah,” Mayati melangkah menuju pintu. Engsel pintu itu tampak rusak. Gagang pengunci pintu ada yang terlepas. Semua warga mempertahankan.
“Engsel pintu ini rusak, karena pintu terkunci dari dalam. Seseorang berusaha membuka paksa sehingga menyebabkan gagang pengunci pintu terlepas. Butuh kekuatan yang besar agar bisa merusak pintu sampai begini. Dan semua bisa menilai, Mirna tidak mungkin mampu melakukannya.”
Mirna berhenti menangis dan melepaskan diri dari pelukan Ibu Mayati.
“Tidak, itu tidak benar. Semua hanya bualan gadis tengik ini. Akulah yang jadi korbannya”, rengek Mirna.
“Berhenti berbohong, Mir! Jika aku boleh mengatakan, kunci pintu ini pasti masih ada di tubuhmu. Kau menyembunyikannya di dalam pakaianmu. Oleh sebab itulah, Ilham lebih baik merusak pintu daripada menyentuhmu”
Mirna berjalan mundur. Wajahnya pucat pasi, panik. Ia tahu bahwa dirinya sudah terpojok. Baru saja berpikir untuk lari, tiba-tiba sebuah benda jatuh dan menimbulkan bunyi berdenting. Semua terperangah. Sebuah kunci jatuh di dekat kaki Mirna. Baru dua langkah diambilnya, dua orang warga sudah mencengkram erat lengannya. Mirna meronta-ronta, memohon untuk dilepaskan. Setelah minta-maaf atas kesalahpahaman, semua warga pergi menuju rumah Pak Karto. Menuntut alasan perbuatan Mirna dan mencari tahu siapa saja yang berada di balik kejadian ini. Setelah itu barulah warga akan menyerahkannya pada pihak yang berwajib untuk penerimaan hukuman.
Kini tinggal mereka bertiga di gubuk itu. Mayati, Ibunya dan Ilham. Darah masih tampak mengalir di pelipis Ilham. Ilham seperti akan mengatakan sesuatu padanya, tapi Mayati mengabaikannya dan berlari ke dalam rumah. Mayati berkeliling, mencari-cari sebuah tas dan memasukkan beberapa potong pakaian yang ia temukan di dalam kamar Ilham. Beberapa menit kemudian ia keluar dari dalam gubuk. Mencium tangan Ibunya.
“Ibu, aku akan segera kembali. Jika orang bertanya, jangan katakan apapun. Sudah tidak ada waktu lagi.” Ibu menatap wajah Mayati, bingung.
“Kamu masih bisa berjalan kan? Ayo!” Mayati menarik lengan Ilham. Tanpa banyak bertanya, saat ini memang ia tak punya pilihan selain mengikuti saran Mayati. Mereka berdua berlari dalam kegelapan. Menelusuri jalan setapak dan gang-gang rumah warga. Lima menit kemudian mereka berdua sudah berada di tepi pantai. Mayati menajamkan pandangannya mencari tempat dimana kapalnya tertambat.
“Terima kasih sudah menolongku,”ujar Ilham lemah.
“Tidak perlu. Kalau kamu tadi tidak memberitahku bahwa Mirna menyembunyikan kuncinya, aku juga tidak tahu bagaimana cara agar bias menolongmu. Jadi jangan berterima kasih padaku,” jawab Mirna sekenanya.
“Apa yang sedang kamu lakukan?” tanya Ilham lagi. Mayati mempercepat langkahnya karena ia telah menemukan kapalnya. Ilham tertatih mengikuti langkah kaki Mayati sambil menahan sakit di kepalanya.
“Aku akan membawamu pergi dari tempat ini secepatnya.” Mayati melepaskan tali yang menghubungkan kapal dengan dermaga.
“Kenapa aku harus pergi? Bukankah masalahnya sudah selesai?” tanya Ilham lagi. Mayati hanya diam. Ia melemparkan tas berisi barang-barang milik Ilham ke atas kapal. Kemudian ia berbalik dan mendorong Ilham naik ke atas kapal. Kapal mulai bergerak pelan karena tali jangkar sudah terlepas.
Dengan gesit dan cepat, Mayati menghidupkan mesin kapal dan mereka pun berlayar. Mayati terhenyak di salah satu kursi penumpang dengan nafas tersengal-sengal.
“Kamu belum menjawab pertanyaanku,” tuntut Ilham. Setelah nafasnya kembali normal, Mayati bangkit dan berdiri di depan Ilham. “Apa kau ingin mati konyol?! Mirna pasti akan mengatakan yang sebenarnya. Si Kunjo tidak akan melepaskanmu karena rencananya sudah terbongkar di depan semua warga. Meskipun kau bebas dari amukan warga, tapi Kunjo dan teman-temannya tetap akan mencarimu dan membunuhmu” jelas Mayati dengan segenap emosi.
“Apa?!”, ujar Ilham terkejut.
“Apa kau tahu, kenapa aku sejak dari awal tidak menyukaimu? Itu karena kau seorang Mubalig. Beberapa tahun yang lalu juga ada orang sepertimu yang sempat memberikan pencerahan dan hidayah kepada warga setempat. Ada beberapa oknum yang merasa tidak senang dan merencanakan perbuatan jahat untuk mencelakainya. Hanya karena ia tidak bisa diajak kerjasama.” Mayati mengambil nafas dan berusaha setenang mungkin.
“Mereka membunuhnya di tepi pantai. Malam ini aku baru tahu, bahwa orang yang membunuh mubalig itu juga orang yang merekayasa kejadian malam ini. Bukan tidak mungkin, ia akan melakukan hal yang sama padamu, karena tidak berhasil membuatmu pergi dari sini.”
“Tapi aku tidak takut pada mereka” potong Ilham.
“Simpan saja keberanianmu sampai situasi mereda, dan mereka mendapatkan hukumannya. Kau boleh kembali lagi jika kau masih punya nyawa setelah malam ini” jelas Mayati. Ilham terdiam, berpikir merenungi pilihan yang ia punya sekarang.
“Tapi… mubalig yang kau maksudkan itu siapa?”tanya Ilham.
Mayati merasakan bola matanya terasa panas. Ia berpaling menatap laut hitam yang luas. Tak ada bintang. Angin laut berhembus memainkan ujung jilbabnya.
“Dia adalah pemilik kapal ini, Ayahku…”

= Selesai =

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © 2011. FLP Sumbar: Mayati . All Rights Reserved
Template modify by Creating Website. Remodified by Aini